Faktanya, kata Rusli, pemerintah tak berdaya menangani persoalan kedelai. "Pemerintah ngga bisa ngapa-ngapain. Terkunci, dilihat dari fakta kita impor itu sampai 91 persen," imbuh dia.
Ia melihat salah satu pilihan terbaik untuk saat ini adalah mendiversifikasi pasar impor kedelai dari negara selain AS, mengingat saat ini AS mengalami inflasi dan kenaikan biaya produksi.
Baca Juga:
Kunjungi Lampung, Mendag Hadiri Gerakan Tanam Kedelai di Tanggamus
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan persoalan harga kedelai bisa mengancam perajin tahu tempe gulung tikar.
"Potensi penurunan pembelian bisa menjadi sebab, kalau berlarut jadi gulung tikar ya bisa jadi," tutur dia.
Toh, kondisi perajin gulung tikar memang sudah terjadi sebelumnya. Tengoklah, data Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) sampai Februari 2022, dari total 160 ribu perajin tahu tempe, di antaranya 20 persen atau 30 ribu perajin berhenti produksi.
Baca Juga:
Turunkan Harga Kedelai, Mendag Ganti Selisih Harga
Kebanyakan perajin tahu tempe yang bangkrut adalah mereka yang berproduksi kecil-kecilan dari rumah dengan jumlah produksi 10 kg- 20 kg per hari.
Namun, Faisal mengakui intervensi tahu tempe tak semudah intervensi minyak goreng yang memang diproduksi sendiri di dalam negeri. Tahu tempe mengandalkan kedelai impor. "Kalau ketergantungan dengan impor terlalu tinggi, jadinya begitu ketika harga dari luar naik," ujarnya.
Berbeda pandangan, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai kenaikan harga kedelai saat ini sebetulnya hal yang positif karena selama ini kedelai dijual dengan harga terlalu murah.