Menurut dia, tidak wajar harga kedelai lebih murah dari beras sedangkan beras adalah bahan pokok dan kedelai merupakan bahan lauk. Ia menyebutkan di masa orde baru kedelai dipatok harus 1,5 kali dari harga beras, namun yang terjadi sekarang malah sebaliknya.
Karena harga murah itu lah, sambung Dwi, petani kedelai memilih beralih ke komoditas lain, seperti kacang hijau yang bisa dibanderol hingga Rp16 ribu per kg.
Baca Juga:
Kunjungi Lampung, Mendag Hadiri Gerakan Tanam Kedelai di Tanggamus
Ia menilai harga kedelai di level Rp11 ribuan seperti sekarang malah mesti dipertahankan guna memberi insentif petani untuk kembali tertarik menanam kedelai.
"Di satu sisi enggak wajar juga, harga lauk kok malah jauh lebih murah dari bahan pokoknya?" imbuh Dwi.
Lalu, faktor lain yang mematikan pertanian kedelai di dalam negeri adalah kebijakan tarif impor kedelai nol persen yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 133/PMK.011/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor.
Baca Juga:
Turunkan Harga Kedelai, Mendag Ganti Selisih Harga
Ia menilai bebas masuknya kedelai luar tanpa biayamembuat harga kedelai dalam negeri tak bisa bersaing. Ia menjelaskan rata-rata produksi kedelai RI sebesar Rp7.000-Rp8.000 per kg sementara harga jual di level petani hanya Rp6.000-Rp7.000 per kg.
Ia menyebut pemerintah harus mencontoh India yang berani mengenakan bea masuk sawit selangit guna melindungi petani bunga matahari dan sumber minyak nabati lainnya. Dwi meyakini masalah kedelai merembet hingga ke Kemenkeu yang mengeluarkan tarif impor 0 persen.
"Petani itu rasional, untuk itu kenapa kok balik ke masalah kebijakan tarif, kalau tarif nol, enggak mungkin (produksi). Mbok pontang-panting, jumpalitan, enggak mungkin produksi dalam negeri naik," katanya.