WahanaNews.co | Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa perubahan iklim saat ini dapat menimbulkan dampak yang luar biasa bagi kehidupan manusia dan keberlanjutan bumi ini.
Dalam hal ini termasuk Indonesia juga menghadapi konsekuensi dan risiko yang cukup serius dari dampak perubahan iklim.
Baca Juga:
Bea Cukai Tindak 31.275 Perdagangan Ilegal di 2024, Menkeu: Potensi Kerugian Negara Rp3,9 Triliun
“Perubahan iklim menjadi risiko terbesar bagi umat manusia dan juga bagi seluruh negara, terutama bagi negara berpenghasilan rendah dan negara berkembang implikasi dari perubahan iklim ini bahkan lebih signifikan dan merusak,” ungkap Menteri Keuangan dalam acara The 11th Indonesia EBTKE Conference and Exhibition 2023, Rabu (12/07).
Berdasarkan data BMKG, di Indonesia sendiri selama hampir 40 tahun terakhir (1981 - 2018) setiap tahunnya mengalami kenaikan suhu sekitar 0,03 derajat celcius dan kenaikan permukaan air naik 0,8 - 1,2cm per tahun.
Menurut Menkeu, Indonesia sudah merasakan dan akan menghadapi implikasi yang tidak mudah dan tidak murah akibat climate change. Emisi gas rumah kaca Indonesia juga cenderung mengalami kenaikan, dimana setiap tahun menambah 4,3 persen per tahun dihitung sejak 2010.
Baca Juga:
Wamenkeu Suahasil: Sektor Keuangan Jadi Game Changer Pembangunan Indonesia
Namun, meski di satu sisi, perubahan iklim disebut memberikan dampak yang menghancurkan. Di sisi lain, Indonesia masih harus terus melakukan pembangunan yang menimbulkan peningkatan konsumsi energi.
Artinya, maka akan ada peningkatan permintaan terhadap energi karena masyarakat yang semakin maju dan sejahtera, sehingga konsumsi energinya makin tinggi.
“Kontradiksinya adalah how we would continue satisfying the ever growing demand dengan supply energy yang tidak memperburuk gas rumah kaca yang setiap tahun meningkat 4,3 persen. Inilah sebuah tantangan bagi kita semua. (selain) pemerintah, pelaku industri dan masyarakat secara bersama sama (perlu turut terlibat mengatasi tantangan itu),” terang Sri Mulyani.
Menkeu juga menuturkan, bahwa upaya Indonesia menghindari konsekuensi bencana dari perubahan iklim ini tentu untuk memenuhi kepentingan di tanah air.
Dalam hal ini, Indonesia sudah menyampaikan komitmen untuk mengurangi emisi karbon dalam bentuk national determined contribution (NDC). Dimana Indonesia berkontribusi secara global mengurangi emisi CO2 dengan target pengurangan 29 persen hingga 31,89 persen dengan usaha sendiri, atau berambisi menurunkan emisi global 41 persen bahkan hingga 43,2 persen melalui dukungan internasional.
Untuk itu, Menkeu menyebut bahwa salah satu cara Indonesia memenuhi kebutuhan energi tanpa memperburuk atau bahkan mengurangi emisi CO2 adalah dengan renewable energy.
Namun untuk mencapai komitmen itu, membutuhkan biaya yang juga tidak murah atau mencapai Rp 4000 triliun hingga tahun 2030. Maka dalam hal ini peranan dari private sektor masyarakat menjadi sangat penting.
“APBN mungkin kontribusinya bahkan mungkin hanya 10 persen. Namun APBN bisa memberikan manfaat melalui berbagai insentif,” ungkapnya.
Untuk menjawab tantangan itu, Kementerian Keuangan berkomitmen untuk turut membantu mengembangkan berbagai regulasi, instrumen dan kebijakan.
Sebagai penutup, Menteri Keuangan juga menghimbau kepada masyarakat untuk dapat bekerja bersama-sama mewujudkan pembangunan renewable energy di Indonesia yang begitu besar potensinya untuk kepentingan bersama.
“Kami (Kementerian Keuangan) akan terus bekerja sama dengan anda semuanya dari masyarakat energi terbarukan Indonesia dan semua stakeholder agar kita betul-betul mampu menyiapkan seluruh platform dari mulai regulasi, kebijakan, instrumen, institusi, dan tentu pada akhirnya terwujudkan dalam bentuk keputusan investasi yang menjawab tantangan Indonesia di dalam terus membangun ekonominya, membangun sektor energinya, namun pada saat yang sama terus menurunkan emisi CO2 untuk menghindari bencana climate change,” pungkas Menkeu. Demikian dilansir dari laman kemenkeugoid, Rabu (13/7). [jp/jup]