WahanaNews.co | Mulai bulan Juli 2023, Bank Indonesia menerapkan biaya layanan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebesar 0,3 persen bagi Penyedia Jasa Pembayaran (PJP), setelah sebelumnya biaya Merchant Discount Rate (MDR) QRIS masih gratis.
Dengan kebijakan baru ini, pelaku UMKM yang menyediakan layanan QRIS akan bertanggung jawab atas biaya tersebut.
Baca Juga:
Makin Digemari, Volume Transaksi QRIS Bank Muamalat Naik 148% pada Kuartal III-2024
Menanggapi hal ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memperkirakan bahwa pedagang akan memindahkan beban biaya transaksi QRIS kepada pembeli atau pelanggan.
Agus Sujatno, Pengurus Harian YLKI, menyatakan bahwa beban biaya tersebut akan ditransfer oleh pedagang kepada pelanggan dengan meningkatkan harga barang dagangan.
"Kalau ada struktur harga yang menjadi beban tambahan di produsen atau pedagang, itu biasanya akan dibebankan ke konsumen juga dalam bentuk kenaikan harga. Itu yang kami khawatirkan," ungkap Agus, mengutip Tribunnews, Minggu (16/7/2023).
Baca Juga:
Bank Kalsel dan Pemko Banjarmasin Modernisasi Transaksi Pasar Terapung dengan QRIS
Sebagai contoh, ada seorang pedagang menjual gorengan dengan harga yang biasanya Rp1.000 per satuan. Namun, pada saat konsumen membeli dan membayarnya dengan QRIS, pedagang tersebut akan mematok harganya senilai Rp1.500.
Biaya layanan QRIS yang dimaksud akan dimasukkan ke dalam biaya operasional. Padahal, lanjut Agus, QRIS merupakan inovasi yang bagus.
Di mata konsumen, metode pembayaran QRIS sangat inovatif dan efektif.
Karena konsumen tidak perlu membayar uang tunai dan tidak repot menunggu kembalian apabila nominal uang yang dibayarkan lebih.
Dengan adanya biaya tambahan layanan, diprediksi akselerasi percepatan implementasi QRIS pada pelaku UMKM bakal terhambat.
"Jadi misal biaya produksi naik atau ada biaya lain yang dirugikan pedagang, merchant atau pelaku usaha ya mereka akan sharing beban ke pelanggan," pungkasnya. [eta]