WahanaNews.co | Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) kembali melesat, setelah menjalani tren koreksi jelang akhir kuartal kedua.
Pada perdagangan Senin (15/9) pagi harga CPO di Bursa Malaysia tercatat MYR 4.340/ton, yang berarti sejak awal tahun telah mengalami peningkatan harga hingga 20,55% sejak awal tahun 2021.
Baca Juga:
GAPKI Desak Pembentukan Badan Sawit Nasional di Bawah Pemerintahan Prabowo
Lantas bagaimana pengaruh booming harga komoditas ekspor utama RI terhadap taipan penguasa industri sawit, khususnya konglomerasi usaha sawit yang dikelola? Berikut hasil risetnya.
Grup Salim
Baca Juga:
Harga CPO Naik Signifikan, Dorong Pertumbuhan Ekspor Indonesia
Anthoni Salim yang merupakan salah satu taipan yang diuntungkan. Duo emiten kelompok usaha agribisnis milik Group Salim PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) dan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) mampu mencatatkan kinerja yang cukup impresif.
Ivomas, emiten yang bergerak pada proses peningkatan nilai tambah produk agribisnis dan pemasaran produk minyak goreng ini mencatatkan perolehan laba bersih sebesar Rp 219,00 miliar pada paruh pertama tahun ini, mengalami perbaikan dari rugi bersih yang diperoleh sebesar Rp 300,81 miliar pada periode Juni 2020 lalu. Aset perusahaan juga tercatat mengalami peningkatan tipis dibandingkan posisi akhir tahun lalu.
Selain itu emiten satunya yang bergerak di industri perkebunan kelapa sawit dan karet, PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), melaporkan kenaikan laba bersih yang lebih fantastis lagi.
Laba bersih LSIP meningkat hingga 445% menjadi Rp 501,22 miliar pada akhir Juni 2021, dari periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp 91,99 miliar.
Grup Sinarmas
Grup Sinarmas, konglomerasi yang didirikan oleh mendiang Eka Tjipta Widjaja ini memiliki unit usaha agribisnis di bawah naungan Sinar Mas Agro Resources and Tech Tbk (SMAR). SMAR adalah salah satu perusahaan publik produk konsumen berbasis kelapa sawit yang terintegrasi dan terkemuka di Indonesia.
Berkat harga CPO yang terus membaik, SMAR mampu mencatatkan perbaikan kinerja laba dengan kenaikan fantastis. Laba bersih SMAR tercatat naik 9.920% dari semula hanya sebesar Rp 10,77 miliar pada Juni 2020, kini meroket mencapai Rp 1,00 triliun pada tengah tahun ini.
Pendapatan perusahaan tercatat naik menjadi Rp 23,78 triliun dari semula Rp 19,07 triliun.
Grup Astra
Konglomerasi Grup Astra juga memiliki gurita bisnis di berbagai sektor mulai dari otomotif, jasa keuangan hingga pertambangan dan energi. Astra juga ikut terjun dalam industri agribisnis khususnya kelapa sawit melalui PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).
Sepanjang semeter pertama tahun ini, pendapatan Astra Agro Lestari mampu tumbuh 19,28% menjadi Rp 10,83 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 9,08 triliun.
Tumbuhnya pendapatan mampu mendongkrak kinerja laba perusahaan yang laba bersihnya naik hingga 66% menjadi Rp 649,34 miliar dari semula sebesar Rp 391,90 miliar pada Juni tahun lalu.
Grup Sampoerna
Meskipun bisnis utamanya adalah produk turunan tembakau, Grup Sampoerna juga tidak mau kehilangan pangsa pasar CPO yang cukup menjanjikan, konglomerasi bisnis ini hadir melalui PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) yang berlokasi di Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan Riau.
Pendapatan SGRO semeter pertama meningkat 66% menjadi Rp 2,66 triliun dari semula Rp 1,60 triliun pada tengah tahun lalu. Hal ini ikut menggenjot laba perusahaan yang terbang menjadi Rp 386,86 miliar dari sebelumnya hanya mampu mencatatkan laba Rp 971 juta yang salah satunya diakibatkan oleh krisis awal pandemi.
Grup Triputra
Triputra Group melalui PT. Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) meramaikan kompetisi usaha agribisnis nasional. Meski memulai usaha di industri perkayuan pada tahun 1980 dan baru memulai ekspansi ke bisnis kelapa sawit secara resmi pada 1996, perusahaan ini telah berkembang dan menjadi pemain penting di dunia kelapa sawit Indonesia.
Reli harga CPO, berkontribusi terhadap peningkatan laba DSNG semester pertama tahun ini yang tercatat naik 14% menjadi Rp 207,50 miliar dari sebelumnya Rp 181,74 miliar pada posisi akhir Juni tahun lalu. Pendapatan perusahaan tercatat mengalami kenaikan tipis menjadi Rp 3,30 triliun dari semula Rp 3,15 triliun.
Pemain Medioker
Selain dari konglomerasi yang disebutkan di atas beberapa emiten sawit lainnya juga membukukan kinerja positif akibat kenaikan harga CPO. Emiten yang baru melantai di bursa tahun lalu, PT Pinago Utama Tbk (PNGO) pada tengah tahun ini mencatatkan laba bersih Rp 120,21 miliar dari semula rugi Rp 2,19 miliar.
Emiten sawit lain PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) juga membukan laba US$ 12,58 juta pada enam bulan awal tahun ini, membaik dari kondisi rugi US$ 5,40 juta pada tengah tahun lalu.
Emiten sawit yang didirikan oleh taipan perkebunan Abdul Rasyid di Kalimantan Tengah, PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) belum melaporkan kinerja keuangan kuartal kedua. Akan tetapi hingga akhir Maret tahun ini perusahaan mencatatkan laba Rp 174,11 miliar dari kondisi rugi Rp 338,96 pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Meskipun sebagian besar emiten sawit mencatatkan kinerja gemilang akibat kenaikan harga CPO, masih terdapat dua emiten yang mengalami kerugian, setidaknya hingga akhir kuartal pertama tahun ini, mengingat kedua perusahaan ini belum melaporkan kinerja tengah tahun. Kerugian ini tetap terjadi di tengah pendapatan kedua perusahaan yang tercatat naik
Kedua perusahaan tersebut adalah unit bisnis perkebunan Grup Bakrie yaitu PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP) dan bisnis perkebunan Peter Sondakh PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT).
Bakrie Plantation mencatat kerugian bersih Rp 310,87 miliar, jauh membaik dari total rugi Maret 2020 yang mencapai Rp 1,52 triliun. Sebaliknya rugi Eagle Plantation malah membengkak menjadi Rp 1,65 triliun dari semula Rp 416,82 miliar. [qnt]