WAHANANEWS.CO, Jakarta - Gaya hidup Ciputra jauh dari kesan glamor. Walau sanggup membeli ribuan pasang sepatu mahal, ia hanya setia pada satu pasang untuk aktivitas sehari-hari. Bukan karena tak mampu membeli baru, tapi karena prinsip hidupnya sangat sederhana.
Sepatu andalannya? Satu pasang New Balance warna hitam yang selalu setia menemani ke mana pun ia melangkah.
Baca Juga:
Menuju Kota Global Aglomerasi Jabodetabekjur yang 'Serba Cepat', MARTABAT Prabowo-Gibran Sebut Pembangunan Apartemen Dekat Stasiun MRT dan LRT Sangat Tepat
Nama Ciputra bukanlah nama asing. Pria kelahiran Parigi, Sulawesi Tengah, 24 Agustus 1931 ini dikenal luas sebagai tokoh properti papan atas dengan kekayaan bernilai triliunan rupiah.
Ia mendirikan sejumlah perusahaan besar di bidang properti seperti Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group.
Forbes pada Sabtu, 31 Mei 2025, mencatat keluarga Ciputra memiliki kekayaan bersih sebesar US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 28 triliun.
Baca Juga:
Jet Siluman Super AI Muncul dari China dan AS: Siapa Penguasa Langit Selanjutnya?
Ciputra berada di urutan ke-32 dalam daftar orang terkaya Indonesia pada 2024.
Menurut Forbes, Ciputra mendirikan Ciputra Group sekitar tiga dekade lalu dan kini telah mengembangkan proyek di 33 kota di Indonesia. Yang mengejutkan, modal awal yang ia gunakan hanya sebesar Rp 10 juta.
Dalam buku Properti Moderat, Modal Dengkul dan Urat karya Benny Lo, disebutkan bahwa Ciputra memulai bisnis sejak masih kuliah di Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung.
Pada tahun 1957, ia bersama dua temannya, Budi Brasali dan Ismail Sofyan, mendirikan biro arsitektur dengan nama PT Daya Cipta.
Biro tersebut kebanjiran proyek. Setelah lulus dari ITB pada 1960, Ciputra pindah ke Jakarta untuk memperluas peluang.
"Kita harus ke Jakarta karena di sana banyak pekerjaan," ucap Ciputra dalam buku itu.
Di Jakarta, perjalanannya makin bersinar. Pada 1961, ia mendirikan Grup Jaya dengan modal awal Rp 10 juta. Bisnisnya tumbuh pesat.
Melalui PT Ciputra Development, Ciputra, yang juga dikenal dengan nama Tjie Tjin Hoan, berhasil membawa perusahaan nasional ke pentas bisnis global, dengan nilai aset yang kini lebih dari Rp 30 triliun.
Namun perjalanan tak selalu mulus. Pada 23 Juli 1996, setelah 30 tahun memimpin, Ciputra mundur dari PT Pembangunan Jaya, perusahaan yang ia dirikan sendiri.
Setahun setelah pensiun, krisis moneter menghantam dan menyeret banyak perusahaannya, termasuk yang berada di bawah grup Metropolitan Development dan Ciputra Group.
Padahal sebelumnya Grup Jaya menangani berbagai proyek besar, sebagian dibiayai lewat pinjaman dolar dari bank asing.
Ciputra saat itu yakin bahwa semua pinjaman akan bisa dilunasi tepat waktu.
Keyakinan itu meleset. Pada 1998, rupiah melemah drastis terhadap dolar. Nilai tukar yang semula berkisar Rp 2.000 naik menjadi Rp 2.500, dan dalam waktu singkat melonjak lebih dari lima kali lipat. Akibatnya, utang Grup Jaya membengkak hingga hampir US$ 100 juta.
"Kami sama sekali tak menduga," ujar Ciputra dalam biografinya The Passion of My Life yang diterbitkan akhir November 2017.
Ketika krisis melanda, Edmund Sutisna yang saat itu menjabat Direktur Pembangunan Jaya, mengatakan bahwa Ciputra memilih membagi tanggung jawab.
Penanganan masalah di Pembangunan Jaya dan Metropolitan diserahkan ke direksi masing-masing.
"Pak Ci konsentrasi menyelesaikan masalah di Grup Ciputra. Dia memberi kepercayaan kepada kami di Grup Jaya untuk menyelesaikan sendiri. Tapi kalau ada masalah kami konsultasikan dengan beliau," tutur Edmund, melansir detikcom.
Perlahan namun pasti, ketiga kelompok usaha Ciputra bangkit kembali. Untuk menutupi utang, ia melepas saham di beberapa perusahaan, termasuk Bumi Serpong Damai (BSD).
Bahkan beberapa unit usaha seperti Bank Ciputra harus ditutup permanen.
Ciputra berhasil lolos dari ancaman kebangkrutan. Kini generasi ketiga keluarganya mulai masuk ke dalam jajaran manajemen grup.
Salah satunya, Cipta Ciputra Harun, cucunya, yang mengungkapkan bahwa sang kakek tetap sederhana meski bergelimang harta.
"Dia nggak pernah mikirin sepatunya apa, bajunya apa. Sepatu dia cuma satu, New Balance warna hitam, entah tahun berapa belinya. Nggak ganti-ganti," kata Cipta.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]