WahanaNews.co | Tahun ini pemerintah menggodok besaran subsidi BBM 2022 yang berdasarkan perencanaan pemerintah di awal subsidi BBM sebesar Rp 170 triliun, namun mengalami pembengkakan anggaran subsidi energi menjadi Rp 502 triliun dari APBN 2022.
Pemerintah lantas memutuskan mencabut subsidi BBM dan menaikkan harga sejumlah BBM. Pemerintah kemudian menyediakan Bansos Tunai sebesar Rp 24,17 triliun sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Angka tersebut akan dibagikan secara bertahap.
Baca Juga:
680 Liter Pertalite Diamankan, Sat Reskrim Polres Subulussalam Tangkap Seorang Pria Diduga Lakukan Penyalahgunaan BBM
Menurut Mensos Risma jumlah yang menerima bantuan adalah mereka yang menerima selama ini BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) dan PKH (Program Keluarga Harapan). Tapi tidak yang beririsan.
Artinya kalau mereka menerimanya dua, mereka menerimanya hanya satu. Sehingga totalnya 20,6 juta KPM. Setiap keluarga ditargetkan menerima Rp 600ribu yang disalurkan bertahap.
Dalam Diskusi yang disenggarakan oleh Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Moestopo dan Studi Demokrasi Rakyat (SDR), pencabutan subsidi BBM dan pemberian bansos ini dikorelasikan dengan Subsidi Obligor BLBI.
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Tindak Tegas SPBU Nakal
Menurut Hari Purwanto Direktur Eksekutif SDR ketika subsidi BBM akan dicabut dan mengambil kebijakan untuk menaikkan menjadi harga normal, perlu diingat oleh rakyat bahwa dan ada juga yang menikmati pembayaran subsidi bunga obligasi rekap eks Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) yang harus diberhentikan karena berpotensi membuat anggaran untuk rakyat menjadi terbatas.
Menurutnya, pembayaran obligasi rekap eks BLBI sudah dibayarkan selama 23 tahun sejak 1999 sekitar Rp50-60 triliun per tahun, yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bahkan konglomerat-konglomerat yang selama ini mengangkangi negara dengan menikmati bunga rekap hingga Rp 50-an triliun per tahun yang diambil dari APBN mendapat fasilitas khusus yang tidak sesuai prinsip Pancasila sila ke 5, "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia".
Jika Pemerintah cinta rakyat lebih baik pertahankan subsidi BBM untuk rakyat dari pada mensubsidi Oligarki Obligor BLBI.
Sementara itu pengamat Politik Andrianto mempertanyakan latar belakang pemerintah menaikan harga BBM. “Apakah pemerintah sedang berbisnis dengan rakyatnya, sehingga merasa perlu untuk menaikkan harga BBM agar memperoleh laba sebesar-besarnya,” ujarnya.
Andri juga memiliki prakiraan lain di balik kenaikan BBM ini. Menurutnya, bisa jadi pemerintah Jokowi tengah berusaha keras menghimpun duit untuk membayar cicilan hutangnya.
Sebab, jika Jokowi tak sanggup membayar cicilan hutang luar negeri, maka statusnya akan default.
“Ini tentunya akan mengganggu kredibilitas dari pemberi hutang kepada Indonesia. Hasilnya bisa jadi tahun depan, Indonesia tidak mendapat tambahan hutang baru,” imbuhnya.
Sementara itu, Bandot DM Koordinator Forum Diskusi Kebangkitan Indonesia (Forum DKI) menilai pemerintah mestinya sedari awal lebih kreatif untuk menekan harga BBM.
“Sejak orde baru, metode untuk menekan harga BBM hanya subsidi saja. Padahal, banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk menekan harga BBM. Hal terpenting adalah melakukan audit kinerja dan audit forensik terhadap Pertamina,” katanya.
Dia juga menyoroti subsidi terhadap obligor BLBI yang masih terus membebani APBN.
“Kenapa pemerintah masih terus menyusukan obligor BLBI, sementara mereka masih mendapat sejumlah privilege untuk menjalankan bisnis?” katanya. [rin]