WahanaNews.co | Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mewanti-wanti potensi lonjakan impor minyak Indonesia.
Hal ini sejalan dengan meningkatnya harga minyak mentah, namun lifting minyak masih rendah.
Baca Juga:
Menkeu: Kemenkeu Dukung dan Berikan Bantuan Maksimal Kepada Seluruh K/L pada KMP
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, rata-rata harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) Desember 2021 hingga Januari 2022 mencapai US$ 79,63 per barel.
Level ini naik 57,7% dibanding periode yang sama pada tahun lalu.
Bahkan, rerata ICP tersebut jauh di atas asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipatok sebesar US$ 63 per barel.
Baca Juga:
Sri Mulyani Minta Pemangkasan 50% Anggaran Perjalanan Dinas, Ini Instruksinya
Di sisi lain, lifting minyak pada bulan Januari 2022, baru mencapai 573.000 barel per hari, jauh di bawah target dalam APBN 2022 yang sebesar 703.000 barel per hari.
"Perlu diwaspadai karena harga minyak meningkat dan kita perlu impor," kata Sri Mulyani dalam paparannya, Senin (28/3/2022).
Wakil Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengatakan, seiring dengan pemulihan ekonomi yang diperkirakan lebih baik dari tahun lalu, maka kemungkinan impor minyak juga akan meningkat terlebih lagi menjelang mudik lebaran.
“Meskipun harga minyak sedang naik drastis, namun kebutuhan untuk penyediaan secara mencukupi, terlebih dalam situasi jelang mudik lebaran maka kebutuhan impor akan naik,” ujar Eko kepada wartawan, Senin (28/3/2022).
Hal ini dikarenakan produksi minyak dalam negeri hanya mampu menopang sekitar separuh dari kebutuhan konsumsi nasional, sehingga menurutnya faktor stabilitas kurs dinilai sangat penting.
Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia (CORE), Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, jika mengacu pada tahun lalu, terjadi pertumbuhan volume impor produk minyak sebesar 22%, setelah di tahun sebelumnya pertumbuhan volume impor minyak mengalami kontraksi hingga -3%.
Kenaikan volume ekspor minyak di tahun lalu juga diikuti dengan harga minyak global yang berada pada kisaran rata-rata US$ 69 per barel.
Sehingga dirinya menilai dengan kenaikan itu pertumbuhan nilai impor minyak mencapai 83% jauh lebih tinggi.
“Di tahun ini, tentu pemulihan ekonomi diproyeksikan akan jauh lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, aktifitas beragam industri tentu membutuhkan minyak sebagai salah satu bahan baku,” kata Yusuf.
Sehingga dari sisi permintaan ada peluang permintaan akan tumbuh di level yang tinggi seperti tahun lalu, konfigurasi ini ditambah harga minyak dunia yang berpotensi lebih tinggi jika dibandingkan pada tahun lalu.
“Ada peluang harga minyak berada pada level US$ 80-90 per barel. Namun jika bicara konteks neraca dagang, saya kira kenaikan impor minyak masih bisa dikompensasi oleh kenaikan ekspor oleh produk pertambangan dan manufaktur di tahun ini,” pungkasnya. [gun]