WAHANANEWS.CO, Jakarta - Platform e-commerce Bukalapak secara resmi menghentikan operasional penjualan produk fisik di platformnya.
Langkah ini menandai perubahan besar dalam lanskap bisnis startup di Indonesia, sekaligus menjadi sinyal kemunduran bagi perusahaan yang pernah menjadi unicorn pertama di negeri ini dan mencatatkan saham perdana di bursa.
Baca Juga:
Serangan Siber Intai Konsumen, 100 Ribu Data Pelanggan E-Commerce Jepang Dicuri
Keputusan tersebut mencerminkan tantangan ekonomi global saat ini, di mana strategi "bakar uang" dianggap tidak lagi relevan.
Pengamat Teknologi Informasi, Alfons Tanujaya, menyoroti bahwa model bisnis startup yang mengandalkan subsidi besar untuk memenangkan pasar kini semakin sulit diterapkan.
"Secara alami, bisnis startup memang mengandalkan bakar duit. Namun, strategi ini sudah tidak relevan lagi di tengah situasi ekonomi seperti sekarang," ujar Alfons, dikutip Sabtu (12/1/2025).
Baca Juga:
Fenomena E-commerce: Nilai Transaksi Fantastis, tapi Ribuan Kasus Penipuan Mengintai
Ia menambahkan bahwa Bukalapak tidak hanya kalah bersaing, tetapi juga menghadapi masalah inovasi dan efisiensi.
"Sistemnya kurang ramah, biaya operasionalnya tinggi, banyak kasus fraud yang tidak tertangani, dan layanannya kalah dibandingkan Shopee dan Tokopedia," jelasnya.
Alfons juga menegaskan bahwa startup yang gagal menciptakan nilai tambah (value added) bagi konsumen akan sulit bertahan di pasar yang semakin kompetitif.
"Mengandalkan strategi bakar duit saja sudah tidak mungkin lagi," tegasnya. Dalam konteks tantangan ekonomi global tahun 2025, Alfons menilai startup perlu mengadopsi model bisnis yang berkelanjutan untuk bertahan.
"Bahkan startup yang sudah ada pun belum tentu bisa bertahan, apalagi memulai yang baru," tambahnya.
Dengan menghentikan penjualan produk fisik, Bukalapak kini fokus pada penjualan produk virtual seperti token listrik, pulsa, dan paket data. Strategi ini diambil untuk tetap relevan di pasar sekaligus merespons dinamika ekonomi saat ini.
Sepanjang perjalanannya, Bukalapak pernah mencapai status unicorn, mencatatkan IPO, dan memiliki valuasi hingga Rp100 triliun.
Perubahan arah bisnis ini menjadi bukti bahwa era subsidi besar dan perang harga dalam dunia startup tampaknya telah mencapai akhir.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]