WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketika negara-negara di Asia Tenggara berlomba menjadi magnet investasi global, Vietnam tampil sebagai juara baru yang kian menarik perhatian korporasi multinasional.
Sementara itu, Indonesia justru dihadapkan pada berbagai tantangan internal yang belum kunjung tuntas, mulai dari inefisiensi birokrasi hingga kekhawatiran akan stabilitas usaha.
Baca Juga:
PLN Ungkap Total SPKLU Capai 3.772 Unit Diseluruh Indonesia
Sinyal bahaya kini menggema di tengah laju pembangunan ekonomi Indonesia. Perusahaan-perusahaan asing lebih memilih Vietnam sebagai lokasi baru pendirian pabrik dibandingkan Indonesia.
Melansir CNBC Indonesia, ada sejumlah faktor yang menjadi alasan di balik keputusan investor global tersebut: biaya tenaga kerja yang lebih kompetitif, peringkat kemudahan berbisnis yang lebih tinggi, infrastruktur logistik yang lebih baik, serta posisi geografis Vietnam yang strategis dalam menjangkau pasar Asia.
Selain itu, Vietnam juga menerapkan kebijakan perdagangan terbuka yang mendukung investasi jangka panjang.
Baca Juga:
PLN Ungkap Total SPKLU Capai 3.772 Unit Diseluruh Indonesia
Fenomena ini diperburuk oleh fakta yang tidak lagi mengejutkan, yakni keresahan di kalangan pelaku usaha atas maraknya praktik pungutan liar (pungli) oleh oknum organisasi kemasyarakatan (ormas) dalam berbagai proyek nasional.
Praktik seperti pemaksaan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) yang dilakukan beberapa ormas terhadap perusahaan menjadi pemicu tambahan keengganan investor untuk menanamkan modalnya di Tanah Air.
Situasi domestik semakin mencekam setelah muncul kabar mengejutkan dari PT Yihong Novatex Indonesia yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 1.126 buruh.
Perusahaan yang bergerak di sektor tekstil dan alas kaki ini mengungkapkan bahwa PHK dilakukan akibat pembatalan pesanan oleh pemberi kerja, yang kecewa terhadap keterlambatan pengiriman produk.
Keterlambatan tersebut terjadi sebagai dampak dari aksi mogok kerja ilegal yang dilakukan para buruh pada tanggal 30 Januari hingga 1 Februari 2025.
Akibatnya, pihak pemberi kerja memberikan peringatan serius berupa “lampu kuning” kepada perusahaan tersebut.
Insiden ini tak hanya merugikan pihak perusahaan dan pekerja, tapi juga menciptakan citra negatif bagi iklim investasi di Indonesia di mata calon investor asing.
Kontras dengan kondisi tersebut, kabar gembira justru datang dari Vietnam. LEGO Group secara resmi membuka fasilitas manufaktur baru yang canggih di Provinsi Binh Duong, Vietnam bagian selatan, pada 9 April 2025.
Pabrik ini menjadi yang keenam milik LEGO di dunia dan merupakan fasilitas kedua mereka di Asia.
Menurut laporan Vietnam News pada Selasa (15/4/2025), nilai investasi untuk pabrik ini mencapai US$1 miliar atau sekitar Rp16,8 triliun.
Berdiri di atas lahan seluas 44 hektare, pabrik ini digadang-gadang sebagai fasilitas paling ramah lingkungan milik LEGO sejauh ini.
Wakil Perdana Menteri Vietnam, Mai Văn Chính, menyebut bahwa kehadiran pabrik ini adalah hasil dari kemitraan erat antara Vietnam dan Denmark.
Ia menyatakan bahwa kolaborasi kedua negara mencerminkan komitmen bersama untuk membangun masa depan yang berkelanjutan.
Pemerintah Vietnam menegaskan visinya untuk menumbuhkan ekonomi secara seimbang dengan pelestarian lingkungan dan peningkatan taraf hidup rakyat.
Negeri ini juga memprioritaskan penanaman modal di sektor teknologi tinggi yang berkelanjutan, menjadikan LEGO sebagai simbol keberhasilan strategi pembangunan tersebut.
Keputusan LEGO membangun pabrik di Vietnam akan mendongkrak Produk Domestik Bruto (PDB) negara itu.
Selain menciptakan ribuan lapangan kerja baru, investasi ini juga diprediksi akan mendorong konsumsi rumah tangga dan meningkatkan penerimaan negara melalui pajak.
Jika ditelaah dari sisi pertumbuhan ekonomi, Vietnam bahkan mulai mendekati posisi Indonesia.
Pada 2024, PDB Indonesia berdasarkan harga berlaku mencapai Rp22.139 triliun, dengan PDB per kapita sebesar Rp78,6 juta atau sekitar US$4.960,3.
Sebagai perbandingan, PDB per kapita Vietnam pada tahun yang sama mencapai sekitar 114 juta dong atau setara US$4.700, naik US$377 dari tahun sebelumnya.
Angka ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi Vietnam yang agresif dan semakin menyaingi Indonesia di kawasan ASEAN.
PDB merupakan salah satu indikator utama dalam menilai output ekonomi rata-rata penduduk suatu negara, serta menjadi alat perbandingan standar hidup dan kinerja ekonomi lintas negara.
Mengapa Investor Enggan Bangun Pabrik di Indonesia?
Keengganan investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia tak lepas dari beragam persoalan struktural.
Di antaranya adalah rendahnya peringkat indeks investasi, kualitas sumber daya manusia (SDM) yang belum memadai, regulasi yang rumit, biaya produksi yang tinggi, serta infrastruktur publik yang belum merata.
• Kualitas SDM yang Kurang Kompetitif
Data IMD World Talent Ranking (WTR) 2024 menunjukkan bahwa Indonesia berada di posisi ke-46 dari 67 negara dalam hal daya saing SDM, dengan skor 53,4.
Meski lebih baik dari Thailand dan Filipina, Indonesia masih tertinggal dibandingkan Singapura dan Malaysia.
Indeks ini mencakup aspek pengembangan talenta, kesiapan tenaga kerja, dan kemampuan menarik tenaga ahli asing.
Ketidaksesuaian keterampilan tenaga kerja lokal dengan kebutuhan industri menjadi catatan penting bagi para investor yang mencari efisiensi dan produktivitas tinggi.
• Birokrasi Berbelit dan Regulasi Tak Konsisten
Salah satu hambatan terbesar adalah kerumitan regulasi dan birokrasi, yang kerap kali tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah.
Inkonsistensi kebijakan juga membuat investor kehilangan kepercayaan. Ditambah lagi, korupsi yang masih mengakar memperparah kondisi tersebut.
• Biaya Produksi yang Tidak Kompetitif
Biaya produksi di Indonesia masih tergolong tinggi, khususnya di sektor logistik. Ironisnya, meski tenaga kerja dinilai mahal, kualitasnya belum sepenuhnya kompetitif.
Ketimpangan infrastruktur juga menyebabkan biaya distribusi menjadi beban tambahan bagi dunia usaha.
• Infrastruktur yang Belum Merata
Keterbatasan akses terhadap infrastruktur dasar seperti listrik, transportasi, dan jalan menjadi hambatan utama bagi investor yang ingin mendirikan pabrik di daerah-daerah baru. Tidak hanya ketersediaan, kualitas infrastruktur yang buruk juga berdampak langsung pada efisiensi produksi.
• Risiko Politik dan Ketidakpastian Kebijakan
Faktor stabilitas politik yang belum sepenuhnya terjamin juga menjadi pertimbangan serius bagi para investor.
Perubahan kebijakan secara tiba-tiba tanpa konsistensi jangka panjang menciptakan risiko besar dalam perencanaan bisnis.
Dengan segala dinamika tersebut, Indonesia harus segera berbenah agar tidak semakin tertinggal dari negara-negara tetangga dalam menarik investasi global yang strategis.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]