WahanaNews.co | Bank Indonesia kembali menggulirkan isu redenominasi rupiah Rp 1.000 jadi Rp 1.
Sebelumnya, Bank Indonesia pernah menyusun skenario ini dalam RUU Redenominasi Rupiah.
Baca Juga:
3 Faktor Ini Bikin Rupiah Loyo ke Level Rp15.500, Dolar AS Terus Menguat
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan, implementasi redenominasi rupiah ini masih menunggu persetujuan dan pertimbangan berbagai hal.
"Redenominasi sudah kami siapkan dari dulu. Masalah desain dan tahapan-tahapannya, itu sudah kami siapkan dari dulu secara operasional dan bagaimana tahapan-tahapannya," kata Perry seperti ditulis, Selasa (27/6/2023).
Mengenai berbagai pertimbangannya, Perry mengaku setidaknya ada tiga.
Baca Juga:
Dolar AS Terus Menguat, Rupiah Tertekan ke Level Rp15.500
Pertama soal makro ekonomi Indonesia harus dalam posisi stabil.
Kedua, kondisi sosial yang aman.
Sedangkan ketiga, faktor kondisi politik yang stabil.
"Memang ekonomi Indonesia saat ini tengah bagus. Hanya saja redenominasi ini masih harus menunggu momen yang lebih tepat," tegasnya.
Sudah Diterapkan Masyarakat
Dikutip dari laman Kemenkeu, jika melihat fenomena di masyarakat, pada saat ini tanpa disadari sebenarnya masyarakat secara tidak langsung telah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal.
Jika kita berjalan-jalan di mall, restoran, café, atau bioskop, terpampang daftar harga atau tarif dengan embel-embel “K” dibelakang digitnya.
Contohnya untuk menu nasi soto ayam seharga Rp30.000 per porsi hanya dicantumkan 30 K saja. ‘K’ di sini memiliki arti umum kelipatan seribu.
Atau harga kudapan di bioskop, sekantong popcorn seharga Rp 42.000 hanya dicantumkan 42 K saja.
Bahkan di pasar-pasar tradisional kalau kita perhatikan, transaksi antara pedagang dan pembeli juga sudah mulai sederhana dalam penyebutan nominal rupiah saat tawar-menawar.
Misalnya, pedagang buah menawarkan sekilo jeruk dengan harga Rp30.000, dan pembeli menawarnya hanya menyebut 20 saja yang artinya Rp20.000 per kilogram.
Dari fenomena tersebut, tanpa disadari, sebetulnya masyarakat secara tidak langsung sudah menerapkan redenominasi rupiah Rp 1.000 jadi Rp 1 meski secara informal.
Artinya selama ini tidak ada ketentuan resmi dari otoritas moneter Bank Indonesia, namun masyarakat sudah biasa melakukannya dalam transaksi dan pencatatan rupiah sehari-hari.
Pengertian Redenominasi Rupiah
Redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang rupiah.
Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju kearah yang lebih sehat.
Sedangkan sanering adalah pemotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, dimana yang dipotong hanya nilai uangnya.
Dalam redenominasi, baik nilai uang maupun barang, hanya dihilangkan beberapa angka nolnya saja.
Artinya, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang).
Selanjutnya, hal ini akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
Hati-Hati Hiperinflasi
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengungkapkan berbagai keuntungan yang bisa didapat dari aksi Redenominasi Rupiah yang direncanakan oleh Bank Indonesia.
Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1 dapat meningkatkan efisiensi transaksi keuangan, penyederhanaan laporan keuangan.
Selain itu, Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1 juga bisa mencegah kesalahan penghitungan uang tunai karena nominal yang terlalu banyak.
Namun, Bhima menyarankan, perlu adanya penyusunan peta jalan sebelum redenominasi rupiah benar-benar akan dilakukan dalam waktu dekat.
“Jika BI mau lakukan redenominasi rupiah sebaiknya buat roadmap dulu sehingga masyarakat dan pelaku usaha bisa bersiap,” kata Bhima dilansir Liputan6, Selasa (27/6/2023).
Menurut Bhima, redenominasi masih belum tepat dilakukan dalam jangka pendek.
Pertimbangan Sebelum Redenominasi
"Beberapa pertimbangan sebelum lakukan redenominasi yakni stabilitas inflasi harus terjaga. Pra kondisi ideal adalah inflasi kembali ke level pra pandemi dulu atau di kisaran 3 persen. Lebih rendah dari itu lebih bagus,” jelasnya.
Sementara itu, inflasi Indonesia masih di kisaran 4 persen dan sedang dibayangi ancaman el nino yang berisiko menaikkan inflasi.
“Pertimbangan utama jika memaksa redenominasi disaat inflasi masih tinggi adalah kekhawatiran terjadinya Hiperinflasi. Ini dipicu oleh perubahan nominal uang hasil redenominasi mengakibatkan para pedagang untuk menaikkan pembulatan harga ke atas,” papar Bhima.
“Sebagai contoh, harga barang sebelum pemangkasan nominal uang Rp 9.200 kemudian ga mungkin kan jadi Rp 9,5 paska redenominasi, yang ada sebagian besar harga dijadikan Rp 10. Ada pembulatan nominal baru ke atas. Akibatnya harga barang akan naik signifikan. Ini sulit dikontrol oleh pemerintah dan BI. akibatnya apa? Hyperinflasi yang memukul daya beli,” pungkasnya.[eta]