WahanaNews.co, Jakarta – Terkait dengan tudingan Amerika Serikat (AS) bahwa ada praktik kerja paksa di industri nikel Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Mineral (ESDM) buka suara.
Hal tersebut ditulis dalam laporan 'Global State of Child and Forced Labour' yang dirilis oleh Departemen Tenaga Kerja AS pada 5 September 2024.
Baca Juga:
Kasus Penembakan di Solok Selatan, Polisi Cek CCTV Buat Jadi Barbuk
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan terkait laporan tersebut. Setelah itu, baru akan mengecek sumber laporan yang digunakan Negeri Paman Sam itu.
"Kalau pekerja itu panglima kan di Kemenaker, jadi kita tunggu di sana. Nanti kita tunjukkan bukti-bukti mana untuk klasifikasi indikator yang mereka gunakan apa, laporannya seperti apa," ujar Aca sapaan akrabnya di Kementerian ESDM, Jumat (27/9) melansir CNN Indonesia.
Menurut Aca, monitor pelaksanaan serta pengawasan pemenuhan hak dan kewajiban antara pemberi kerja dan pekerja ada di Kemenaker. Namun, ia memastikan, sebagai pemberi kerja, ESDM memastikan semua hak pekerjanya terpenuhi.
Baca Juga:
Seluruh Komoditas Produk Pertambangan yang Dikenakan Bea Keluar Alami Kenaikan Harga pada November 2024
"Kalau di ESDM kan ke pemberi kerja, di dalam pemberi kerja kita juga salah satunya sama-sama untuk memonitor pelaksanaan pemberi kerja terhadap pekerja, seperti apa sesuai dengan peraturan Kemenaker," jelasnya.
Ia memastikan koordinasi dengan Kemenaker rutin dilakukan dan sampai saat ini belum menerima adanya laporan kerja paksa di industri nikel Tanah Air.
"Belum, nanti saya cek lagi ya," pungkasnya.
Terkait masalah ini, CNN Indonesia sudah menghubungi Kepala Biro Humas Kemnaker Chairul Fadly. Namun, hingga berita ini diturunkan, yang bersangkutan belum menjawab.
Kementerian Ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) menduga ada kerja paksa di industri nikel Indonesia.
Berdasarkan laporan itu, para korban kerja paksa merupakan warga negara asing (WNA) China. Mereka dipaksa bekerja di pabrik smelter nikel di Tanah Air.
"Kerja paksa mencemari rantai pasokan mineral penting lainnya, termasuk aluminium dan polisilikon dari Tiongkok, nikel dari Indonesia, dan lagi-lagi kobalt, tantalum, dan timah dari Kongo," kata Deputi Wakil Menteri Ketenagakerjaan AS Thea Lee.
Industri nikel Indonesia berpusat di Pulau Sulawesi. Kepemilikan pabrik smelternya didominasi oleh perusahaan-perusahaan China.
Ia menyebut para pekerja migran asal China itu menghadapi berbagai pelanggaran UU Ketenagakerjaan.
"Misalnya, lembur yang berlebihan dan tidak sukarela, keselamatan kerja tak memadai, upah yang tidak dibayar, denda, pemecatan, ancaman kekerasan, dan jeratan utang," imbuhnya.
Indonesia merupakan produsen nikel terbesar dunia. Komoditas tambang ini adalah bahan baku penting dalam produksi baterai kendaraan listrik (EV). Presiden Jokowi memutuskan melarang ekspor mentah bijih nikel dan menerapkan hilirisasi untuk mendapat nilai tambah.
[Redaktur: Alpredo Gultom]