Satya menjelaskan bahwa hal yang perlu ditekankan dalam transisi energi adalah mencari keseimbangan yang tepat agar produksi migas bisa berjalan dan emisi karbon bisa dikurangi sesuai dengan target pemerintah.
Jika aktivitas produksi migas dapat dibarengi dengan penerapan teknologi yang mengurangi intensitas emisi Karbon dan masyarakat sebagai pengguna bahan bakar fosil memiliki kesadaran seperti menanam pohon atau berperilaku hemat energi maka keseimbangan yang diharapkan pun dapat tercapai.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Sebut Optimalisasi EBT Menghasilkan Dua Manfaat Besar, Energi Bersih dan Tenaga Kerja Baru
Dalam konteks pengembangan gas bumi, Satya mengingatkan pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan sehingga suplai gas bumi dari produsen kepada konsumen di dalam negeri bisa terserap secara maksimal.
Jika minim infrastuktur, diperkirakan akan terjadi kelebihan pasokan gas bumi dan kemudian memilih untuk diekspor.
Kondisi tersebut dianggap tidak memberikan manfaat terhadap kebutuhan energi nasional.
Baca Juga:
ALPERKLINAS: Tanpa Hemat, Indonesia Tidak Akan Bisa Swasembada Energi
Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, secara terpisah mengatakan bahwa transisi energi membutuhkan persiapan dari banyak aspek yang ada.
Oleh karena itu, semua hal yang terkait perlu dilakukan secara gradual agar tidak menjadi beban perekonomian dan kehidupan sosial bagi masyarakat pada umunya.
Menurut Komaidi, pemanfaatan gas bumi untuk kepentingan domestik dapat digunakan sebagai jembatan dalam pelaksanaan transisi energi di Indonesia.