WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kasus pengoplosan beras di Riau kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap distribusi pangan nasional.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan bahwa tindakan oknum yang mencampur beras kualitas rendah dengan beras Bulog SPHP maupun merek premium telah mencederai hak dasar konsumen, merugikan negara, dan menekan kesejahteraan petani.
Baca Juga:
Polda Riau Gerebek Gudang Beras Oplosan, 9 Ton Disita
Ketua YLKI, Niti Emiliana, menyebut perbuatan tersebut sebagai bentuk penipuan yang tidak hanya berdampak secara ekonomi, tetapi juga melukai hak fundamental masyarakat untuk mendapatkan pangan yang layak.
“Pada dasarnya konsumen berhak untuk menuntut ganti rugi secara materil dan immateril,” ujarnya, melansir Republika, Selasa (29/7/2025).
YLKI pun mendesak pemerintah untuk segera melakukan investigasi menyeluruh terhadap seluruh mata rantai pasok beras, dari hulu hingga hilir.
Baca Juga:
Penyumbang Konsumen Terbanyak dan Ditetapkan Sebagai Objek Nasional, ALPERKLINAS Minta Pemerintah dan PLN Siapkan Cadangan Listrik Bali 25 Persen dari Beban Puncak
Lembaga ini menuntut penindakan yang tidak tebang pilih, serta pemberantasan praktik mafia beras yang telah mengacaukan harga dan kualitas beras di pasaran.
Lebih jauh, YLKI meminta agar hasil investigasi tersebut disampaikan secara transparan kepada masyarakat.
“YLKI akan tetap mengawal kasus ini hingga tuntas. Ini suatu bentuk penipuan dan merugikan negara dengan penyalahgunaan anggaran negara dengan melakukan pengoplosan (beras kualitas rendah menjadi) SPHP,” tegas Niti.
Ia menekankan bahwa pelanggaran ini sangat serius karena beras merupakan komoditas pokok yang menyangkut hajat hidup banyak orang. “Jadi ini termasuk dalam hak fundamental konsumen untuk mendapatkan beras yang sesuai,” ujarnya lagi.
Menurut Niti, pelanggaran terhadap standar kualitas produk pangan dapat dikenai sanksi pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ancaman hukumannya mencapai lima tahun penjara dan denda hingga Rp2 miliar.
Ia juga mengingatkan bahwa praktik pengoplosan beras dapat menurunkan kepercayaan konsumen terhadap produk pangan dalam negeri. Ketika kualitas tidak sesuai, hak konsumen jelas telah dilanggar, dan ini bisa berdampak jangka panjang terhadap perilaku konsumsi masyarakat.
YLKI menyarankan adanya penguatan sistem pengawasan dari hulu sampai hilir dalam rantai distribusi beras.
Mulai dari tahapan pre-market seperti pemeriksaan administrasi, pengecekan fisik sarana produksi, hingga uji laboratorium untuk menjamin kualitas beras.
“Pengawasan post-market ketika beras sudah masuk ke ritel juga harus dijaga kualitasnya dengan melakukan pengawasan secara berkala,” tutur Niti.
Ia menekankan bahwa pengawasan tidak boleh hanya bersifat insidental, tetapi harus menjadi sistem berkelanjutan.
Selain itu, menurutnya, masyarakat memiliki peran strategis dalam memerangi praktik curang tersebut.
“Konsumen bisa berperan sebagai pengawas, mata, dan telinga dari praktik kecurangan di lapangan serta melaporkan kepada pihak berwenang sebagai bentuk hadirnya masyarakat kritis dan tekanan publik yang kuat,” ujarnya.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa lembaga perlindungan konsumen juga memiliki mandat untuk melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat demi menjamin hak-hak konsumen.
Sebelumnya, Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan mengungkap penggerebekan kasus pengoplosan beras ini dilakukan atas instruksi langsung dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Operasi yang dipimpin oleh Direktur Reskrimsus Polda Riau Kombes Ade Kuncoro itu digelar pada Kamis (24/7/2025).
Dalam operasi tersebut, polisi menemukan dua modus kejahatan yang dilakukan tersangka berinisial R. Pertama, mencampur beras medium dengan beras kualitas rendah (reject) lalu mengemasnya ulang sebagai beras SPHP.
Kedua, membeli beras murah dari Pelalawan dan mengemasnya dalam karung-karung merek premium seperti Aira, Family, Anak Dara Merah, dan Kuriak Kusuik.
Polisi menyita sejumlah barang bukti berupa 79 karung beras SPHP oplosan, 4 karung bermerek premium berisi beras rendah, 18 karung kosong SPHP, timbangan digital, mesin jahit, dan benang jahit.
“Negara sudah memberikan subsidi, tapi dimanipulasi oknum untuk keuntungan pribadi. Ini bukan sekadar penipuan dagang, tapi kejahatan yang merugikan anak-anak kita yang membutuhkan pangan bergizi,” tegas Irjen Herry.
Tersangka akan dijerat dengan Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf e dan f, serta Pasal 9 ayat (1) huruf d dan h dari UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman pidana hingga lima tahun dan denda maksimal Rp2 miliar.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]