WahanaNews.co | Harga hunian yang belum dibangun oleh pengembang properti memang jauh lebih murah dibanding yang sudah jadi. Namun, keputusan ini riskan, di antaranya adalah proyek mangkrak hingga pengembalian dana mandek.
Nah, konsumen harus bagaimana jika telanjur terjebak membeli hunian yang proyeknya berujung mangkrak?
Baca Juga:
Buka Layanan di Meikarta, Imigrasi Bekasi Siap Layani 2000 Pemohon Paspor Kolektif Selama Sepekan
Pengamat dan pakar real estate Steve Sudijanto mengatakan, ketika konsumen telah membeli suatu proyek tetapi mandek, sebaiknya konsumen meninjau kembali akad jual beli dan berkonsultasi dengan ahlinya, nasihat hukum.
"Pada saat konsumen terlanjur membeli proyek mangkrak, sebaiknya melakukan tindakan preventif. Me-review kontrak perjanjian jual beli. Minta pendapat konsultan hukum. Saya rasa memperkecil risiko adalah tindakan paling utama," katanya, melansir detikcom, Kamis (23/2/2023).
Menurutnya, konsultasn hukum bisa memberikan saran dan masukan kepada konsumen. Konsultan juga harus mampu menjalin komunikasi yang baik dengan developer untuk mendapatkan solusi yang tepat.
Baca Juga:
Hak 131 Konsumen Meikarta yang ke DPR Terpenuhi
"Terburuknya apabila pengembang sudah wanprestasi atau default maka pihak pembeli bisa minta refund melalui konsultan hukum," ujar Steve.
Di sisi lain, Steve mencontohkan, cara pembatalan pembelian dengan pengembalian dana harus berdasarkan akad jual beli yang ditandatangani di hadapan notaris. Biasanya dalam hal refund atau pengembalian uang ada pengenaan beberapa jenis potongan seperti biaya administrasi.
"Semua tergantung itikad pihak Pengembang untuk memberikan solusi kepada pihak pembeli yang berniat membatalkan dengan ketentuan yang ada di perjanjian jual beli," kata Steve.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) Panangian Simanungkalit mengatakan, satu-satunya hal yang bisa dilakukan apabila terlanjur membeli properti yang pembangunannya berujung mangkrak ialah dengan menjualnya.
"Kalau kita sudah kadung beli, nggak ada satu cerita lain kecuali jual," ujarnya, saat dihubungi terpisah.
Menurutnya, kondisi ini merupakan salah satu risiko dari membeli hunian yang sama sekali belum dibangun oleh pihak pengembang alias membeli gambar. Ditambah lagi, hukum di Indonesia kurang memberikan perlindungan maksimal pada konsumen sehingga belum bisa diandalkan.
"Karena hukum di Indonesia tidak melindungi kepentingan kamu sebagai pembeli. Jadi ketika membeli properti dengan gambar, ya wallahu a'lam. Artinya kamu harus yakin bener kalau pengembang ini untung. Untung yang dimaksud itu sukses proyeknya," kata Panangian.
"Karena begitu dia rugi, nggak sukses penjualannya. Ya kamu pasti dikorbankan. Itulah resiko sebagai pembeli properti di atas gambar," sambungnya.
Panangian pun menyebut kasus Meikarta sebagai salah satu contoh kasus pengembang yang terjebak fenomena gaya hidup modern yang sempat trend pada 2015 silam hingga membuat pengembang membangun banyak hunian vertikal. Di sisi lain masyarakat Indonesia belum siap sepenuhnya untuk tinggal di apartemen.
"Orang pindah ke pusat kota dan mencoba gaya hidup di apartemen, boomingnya pada 2015. Meikarta juga dibangun 2017. Mereka ini semua terjebak pada fenomena gaya hidup modern, sementara masyarakatnya kelihatannya belum siap," katanya.
Akibatnya, jumlah permintaan pun tidak dapat menutupi jumlah unit yang tersedia sehingga para pengembang kesulitan menuntaskan proyek. Dalam hal ini, menurutnya pengembang belum siap menangani jika permintaan konsumen tidak sebanyak itu sehingga terjadilah oversupply.
"Developer secara serempak bangun apartemen bahkan bukan hanya di tengah kota seperti Jakarta. Tapi juga bangun di Bekasi, bankan Bogor, Serpong. Jadi kelirunya di situ, pengembang belum siap antisipasi kalau permintaannya belum sebesar itu. Meikarta juga sama. Dia terjebak karena membuat proyeksi ratusan ribu, eh ternyata," terangnya.
Oleh karena itu, menurutnya masyarakat harus lebih cerdas dalam memilih hunian yang akan dibelinya. Agar lebih aman, ia menyarankan agar membeli rumah yang sudah jadi dan lebih kritis dalam memilih pengembang. [afs/eta]