WahanaNews.co | Ketua Umum Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), Wiluyo Kusdwiharto, mengapresiasi komitmen Pemerintah yang terus mengejar target porsi energi baru terbarukan (EBT), sesuai RUPTL 2021-2030.
Wiluyo menuturkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tersebut memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi swasta dan PLN untuk meningkatkan investasi pembangkitan berbasis EBT.
Baca Juga:
Dukung Pengembangan EBT di Indonesia, PLN Siap Jalankan Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 terkait PLTS Atap
"Ini sebuah terobosan yang progresif, dengan adanya RUPTL hijau ini bisa meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi dan nantinya bisa menjawab tantangan dari Paris Agreement untuk seluruh dunia mencapai net zero carbon," ujarnya.
Seperti diketahui, sebelumnya telah dilakukan Pertemuan Para Pihak atau Conference of the Parties ke-26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia pada 31 Oktober hingga 12 November.
Dalam pertemuan itu Indonesia memiliki komitmen tinggi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2030, yaitu sebesar 41 persen dengan dukungan internasional atau 29 persen melalui upaya sendiri.
Baca Juga:
Resmikan HRS Pertama di Indonesia, Langkah PLN Diapresiasi Berbagai Pihak
Wiluyo menjelaskan komitmen pemerintah untuk pencapaian target porsi EBT dalam bauran energi sebesar 23 persen pada 2025 seharusnya diiringi dengan pemberian insentif.
"Hal ini untuk mengatasi banyaknya tantangan pengembangan EBT, sehingga dapat membuat investasi pengembangan EBT di Indonesia lebih atraktif dan target tersebut bisa tercapai tepat waktu," katanya.
Dia menyebutkan, tantangan pertama pengembangan EBT di Indonesia yaitu soal harga biaya pokok produksi (BPP) kelistrikan. Saat ini, BPP dari pembangkit berbasis EBT masih berkisar di antara 8 -15 sen per kWh. Hal ini disebabkan teknologi yang masih mahal dan juga instrumen perpajakan yang masih dikenakan kepada para investor.
"Kami dari MKI terus menyuarakan soal pemberian insentif ini. Harapannya, dengan adanya insentif ini maka biaya pokok produksi bisa berkurang dan mampu menarik minat investor untuk masuk ke Indonesia," kata Wiluyo.
Tantangan lain, kata dia, adalah persoalan lahan. Dalam RUPTL tergambar bahwa porsi PLTS nantinya akan lebih mendominasi, seiring dari sisi teknologi, proyek-proyek PLTS semakin tahun semakin kompetitif.
Namun, dia mengingatkan jika pembangunan PLTS ini bisa saja terhambat karena persoalan lahan. Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam mempercepat proyek ini.
"Proses pembebasan lahan ini butuh peraturan daerah. Ada payung regulasi, tapi biar bergulir ya perlu ada kemudahan," katanya.
Dia juga menyebutkan tantangan lain yakni dari sisi kemudahan dalam pendanaan. Saat ini, kata dia, banyak lembaga keuangan yang beralih dari pembiayaan fosil ke pembiayaan EBT. Hanya saja, bunganya masih relatif tinggi di antara 7-8 persen.
"Untuk bisa pendanaan ini ditangkap oleh investor perlu adanya penurunan suku bunga pinjaman yang lebih ramah lagi dan mendukung para investor. Ini juga perlu dukungan pemerintah, baik dari sisi penjaminan maupun dukungan membuka kerja sama dengan negara atau lembaga donor lainnya," ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti Widya Putri mengungkapkan, 30 persen dari total emisi saat ini berasal dari sektor energi. Maka dari itu, Komisi VII DPR RI terus mendorong pemerintah untuk melakukan terobosan dengan membuat peraturan untuk transisi energi di Indonesia.
"Tanpa adanya payung hukum yang bisa mendorong perkembangan industri, maka industri tidak punya insentif untuk bergerak. Karena dari sisi harga, EBT akan selalu kalah dari energi fosil," tuturnya.
Roro berharap transisi energi yang tengah dijalankan PLN dapat berjalan lancar dan semulus mungkin. Terlebih melihat bagaimana energi fosil selama ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional.
"Selain kebijakan, komitmen lintas sektoral juga sangat penting. Seluruh sektor harus mendukung masa transisi ini. Implementasi adalah sesuatu yang harus kita kawal," katanya.
Roro berharap transisi energi yang tengah dijalankan PLN dapat berjalan lancar dan semulus mungkin. Terlebih melihat bagaimana energi fosil selama ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional.
"Selain kebijakan, komitmen lintas sektoral juga sangat penting. Seluruh sektor harus mendukung masa transisi ini. Implementasi adalah sesuatu yang harus kita kawal," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Noesita Indriani, Ketua Panitia Peringatan HLN ke 76 MKI, mendorong pelaku usaha, termasuk PLN, mampu mengejar target yang dicanangkan pemerintah, di antaranya terkait pendanaan.
"Kalau kita lihat sekarang pendanaan multilateral sangat selektif terhadap isu lingkungan. Berbeda dengan 10-15 tahun lalu ketika kita ada percepatan pembangunan PLTU, sat ini sudah susah untuk mendapatkan pendanaan untuk PLTU," ujar Noesita.
Ajang HLN ke-76 pun bisa menjadi momentum untuk menyatukan kepentingan pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat, dalam mendukung tercapainya net zero carbon 2060. Sesuai dengan tema HLN 2021, yakni 'Kebangkitan Sektor Ketenagalistrikan untuk Energi Bersih'.
"Karena sebetulnya masyarakat saat ini lebih berbicara ketersediaan listriknya. Kita yang harus mendorong keseimbangan antara ketersediaan listrik dan energi bersihnya," ucapnya.
Sementara, Putri Indonesia Lingkungan 2018 Vania Fitryanti Herlambang memandang momentum pandemi Covid-19 sebagai bukti bahwa kegiatan masyarakat memberikan dampak signifikan terhadap emisi karbon. Dia pun mengajak setiap orang untuk beralih ke gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.
"Sebenarnya prinsip dari keberlanjutan ramah lingkungan tidak hanya baik untuk lingkungan, tetapi secara ekonomis juga masuk karena ketika diterapkan bisa lebih menghemat pengeluaran karena lebih efisien," papar Vania. [dhn]