WahanaNews.co, Jakarta - Pada Konferensi Pers APBN KiTa edisi April 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani membagikan oleh-oleh hasil pertemuan IMF World Bank dan G20 di kota Washington D.C. Amerika Serikat pekan lalu.
Setidaknya terdapat tiga hal utama yang disampaikan Menkeu yaitu terkait outlook dan risiko ekonomi global, World Bank Evolution, dan pembahasan mengenai agenda perubahan iklim dan penguatan multilateral development bank (MDB).
Baca Juga:
Kinerja Pendapatan Negara Tahun 2024 Masih Terkendali, Menkeu: Ada Kenaikan Dibanding Tahun 2023
"Pertama untuk pertemuan IMF-World Bank dan G20, dominasi mengenai kondisi outlook global dan risiko ekonomi global itu sangat besar, ini artinya dari sisi situasi kondisi mood dan fokus dari para pembuat kebijakan di bidang keuangan negara dan moneter sangat tercipta oleh downside risk atau risiko yang besar dari perekonomian global," ujar Menteri Keuangan dalam konferensi pers APBN KiTa yang diselenggarakan pada Jumat (26/4) di Aula Mezzanine, Kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta.
Ia menjelaskan, risiko tersebut salah satunya muncul dari eskalasi konflik geopolitik di Timur Tengah serta Ukraina. Kondisi ekonomi Amerika Serikat dengan Fed Fund Rate yang masih bertahan secara higher for longer juga menimbulkan gejolak di pasar modal, pasar uang, dan arus modal, termasuk nilai tukar. Dengan kondisi tersebut, ia menuturkan kondisi capital outflow terjadi di semua negara, baik negara berkembang maupun negara maju selain Amerika Serikat.
"Ini mempengaruhi dollar index yang menguat. Nilai tukar mata uang yang lainnya menjadi lebih lemah atau terkoreksi. Sehingga suku bunga lebih tinggi dan capital outflow dan nilai tukar menjadi fokus pembahasan yang sangat besar," jelasnya.
Baca Juga:
Hadiri Rakornas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tahun 2024, Menkeu: Awal Sinergi yang Baik
Menkeu menceritakan bahwa banyak negara G20 maupun negara-negara berkembang mengalami situasi APBN negaranya yang tidak baik. Hal tersebut terjadi karena tingginya defisit dan rasio utang akibat pandemi ditambah berbagai kebijakan negara masing-masing. Sehingga, situasi nilai tukar yang terkoreksi dalam ditambah suku bunga tinggi sangat memberatkan kekuatan fiskal mereka.
"Cost of borrowing mereka meningkat, ini yang tentu menjadi tema yang menyerap perhatian terbesar dari menteri-menteri keuangan dan Gubernur Bank Sentral," tambah Menteri Keuangan.
Dalam pertemuan tersebut, Indonesia juga aktif berperan untuk memberikan pandangan terutama dengan perubahan yang terjadi di lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan IMF.