WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di tengah tekanan dagang dari Amerika Serikat, Pemerintah Indonesia diminta tampil tegas dan konsisten dalam memperjuangkan kepentingan nasional.
Desakan ini datang dari Pakar Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menyusul meningkatnya sorotan Washington terhadap berbagai kebijakan ekonomi nasional.
Baca Juga:
Rayuan Boeing ke Indonesia: Jet F-15EX Bisa Jadi 'Truk Bom' Buatan Lokal
"Indonesia harus bersikap terbuka, tegas, namun tetap konsisten dengan aturan yang berlaku, baik di tingkat nasional maupun internasional," ujar Reza, melansir Republika, Rabu (23/4/2025).
Menurutnya, ketegasan menjadi sangat penting agar Indonesia tak terlihat mudah diintervensi.
Jika Indonesia bersikap lunak terhadap tekanan Amerika, lanjut Reza, maka hal tersebut bisa dipersepsikan secara negatif oleh negara lain, termasuk China, yang dapat merasa bahwa kepentingan ekonomi mereka ikut terancam.
Baca Juga:
China Siap-siap Hantam Negara yang Kompak dengan AS, Begini Ancamannya
“Dalam menghadapi Amerika Serikat yang potensial mengganggu kedaulatan nasional, Pemerintah RI harus berdialog dengan landasan data yang sahih dan tetap menjunjung aturan hukum nasional serta internasional,” tegasnya.
Pernyataan itu merespons laporan terbaru Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) bertajuk National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025, yang menyoroti sejumlah kebijakan ekonomi Indonesia.
Di antaranya adalah penggunaan sistem pembayaran QRIS, penanganan barang bajakan, dan ketidakterbukaan dalam pemberian subsidi.
QRIS menjadi salah satu titik kritik utama USTR, yang menilai sistem pembayaran digital tersebut tidak cukup melibatkan penyedia jasa pembayaran dan bank asing, termasuk dari AS.
Namun, Reza menampik tudingan itu dan menegaskan bahwa penggunaan QRIS bukan keputusan sepihak Indonesia.
“QRIS adalah hasil kesepakatan negara-negara ASEAN dalam kerangka ASEAN Economic Community. Pemerintah tak bisa memaksa pelaku usaha meninggalkannya, karena mereka sudah memahami efisiensi dan mekanisme pembayaran internasional,” tuturnya.
Ia menambahkan, mengubah sistem yang sudah berjalan baik justru berpotensi merusak kenyamanan dan efisiensi dunia usaha nasional.
Dalam laporan yang sama, USTR juga menyinggung soal keberadaan barang bajakan di kawasan perdagangan seperti Mangga Dua, Jakarta.
"Kalau ada keluhan soal barang bajakan, seharusnya disertai dengan data intelijen ekonomi yang akurat agar bisa ditindaklanjuti," kata Reza.
Selain itu, AS mengkritik Indonesia yang disebut hanya satu kali menyampaikan notifikasi subsidi sejak menjadi anggota WTO pada 1995.
Padahal, menurut Reza, sistem subsidi yang diterapkan Indonesia telah sesuai dengan prinsip-prinsip World Trade Organization (WTO).
“Subsidi nasional kita berjalan sesuai aturan WTO. Sudah transparan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang berkeadilan,” jelasnya.
Sebagai tindak lanjut dari sorotan ini, Pemerintah Indonesia dan pihak USTR sepakat untuk segera merundingkan tarif dagang secara intensif.
Dalam pertemuan tingkat Menteri yang digelar di Washington DC, kedua pihak menyetujui pembentukan kerangka kerja sama yang akan dibahas dalam waktu 60 hari ke depan.
Delegasi Indonesia dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, sementara pihak AS diwakili oleh Ambassador Jamieson Greer.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]