WahanaNews.co | Presiden Jokowi kembali menyinggung besaran subsidi energi yang mencapai Rp 502 T tahun ini. Besaran beban subsidi dikarenakan pemerintah masih menjaga daya beli masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang baru tumbuh.
Terkait hal tersebut, Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menyampaikan bahwa ada pesan implisit yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Presiden Jokowi.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Imbau Konsumen Percayakan Perbaikan dan Pemasangan Instalasi Listrik pada Ahlinya
Pesan tersebut menurut Mamit adalah perlu segeranya dilakukan transisi energi, dari energi bahan bakar minyak ke energi yang berbasis listrik.
"Jelas sekali disampaikan oleh Presiden bahwa beban subsidi yang semakin besar ini perlu segera diatasi. Di mana salah satunya adalah dengan segera mungkin kita melakukan transisi energi agar beban subsidi yang ditanggung pemerintah semakin berkurang," jelas Mamit.
Selain beban subsidi yang berkurang, dengan memperbanyak penggunaan peralatan dan kendaraan yang berbasis listrik akan mengurangi emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan.
Baca Juga:
Energi Hijau Jadi Primadona, PLN Siapkan Solusi untuk Klien Raksasa Dunia
"Apalagi kita punya target mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 dan menuju bebas karbon pada 2060 yang akan datang. Kendaraan bermotor saat ini menyumbang emisi karbon sebesar 2,6 kg CO2 per 10 km sedangkan kendaraan listrik hanya 1,27 kg CO2 per 10 km," urai Mamit
Mamit menilai ini seharusnya menjadi peluang bagi PLN untuk mengambil posisi yang strategis untuk menterjemahkan apa yang dimaksud oleh Presiden Jokowi.
"Sebagai perusahaan yang besar dan satu-satunya di ketenagalistrikan maka PLN harus bisa mengambil momentum ini. Di tengah tekanan harga energi yang terus meningkat, pemerintah melindungi PLN dengan menjaga harga energi primer batu bara diangka USD 70 per metrik ton sehingga bisa bernapas lega meskipun ICP terus mengalami kenaikan seiring naiknya harga minyak dunia," jelas Mamit.