WahanaNews.co | Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) Aviliani mengatakan kondisi bank digital saat ini mirip dengan euforia e-commerce pada beberapa tahun lalu dan diprediksi akan tumbang satu per satu.
"Semuanya ingin jadi bank digital. Tapi akan terjadi seleksi alam, sebab ada skala ekonomi. Kalau skala ekonominya enggak besar, otomatis enggak mampu. Kita lihat e-commerce banyak yang tumbuh sekarang sudah pada mati," kata dia dalam webinar Bisnis Indonesia Banking Outlook 2021 bertajuk The Emerging Era of Digital Banking, Selasa (7/9/2021).
Baca Juga:
Pelindungan Konsumen Sistem Pembayaran
Diketahui, Industri keuangan dalam negeri tengah banyak dipenuhi kehadiran bank digital sebagai pesaing bank konvensional. Kehadirannya pun didukung oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum.
Selain harus bisa mencapai skala keekonomian, bank digital juga identik dengan ekosistem yang saling berkaitan. Tanpa ekosistem, tidak akan ada manfaatnya.
Sebagai contoh, bank digital perlu data-data mutakhir dari perusahaan e-commerce untuk melihat apa yang dibutuhkan masyarakat saat ini dalam membelanjakan uangnya.
Baca Juga:
Menuju Satu Dekade Memberi Manfaat, Pemerintah Terus Dorong KUR untuk Usaha Produktif
Data-data transaksi di e-commerce penting sebab kebanyakan adalah masyarakat yang belum tersentuh akses bank (unbankable).
Hal lainnya, lanjut Aviliani, berbagi pengeluaran dan pendapatan. Ini menjadi tantangan karena dalam satu sebuah perusahaan besar, ada manajemen yang kadang hanya mau mengejar pendapatannya sendiri semisal di bidang asuransi dan multifinance.
"Nah bagaimana CEO grup itu mampu satukan ekosistem ini. Kalau enggak, ya seperti sekarang konglomerasi jalan sendiri, asuransi dan multifinance jalan sendiri. Enggak mau sharing cost, ini tantangannya menurut saya soal bank digital," ujar dia.
Tantangan lain yang juga harus dihadapi bank digital adalah inovasi. Promosi menjadi bagian penting untuk menggaet nasabah bank digital, tapi jika itu dilakukan tanpa terukur hanya akan membakar uang perusahaan.
"Itu kelihatan sekali pada saat ramai-ramai orang buka e-money, begitu ada diskon dia ambil. Akhirnya data (nasabah yang dikoleksi) jadi sampah begitu enggak diskon. Bakar duit tapi enggak berhasil," tambahnya.
Aviliani memandang tren bank digital akan lebih banyak digunakan untuk transaksi ritel. Sementara transaksi skala besar seperti pembiayaan korporasi dan investasi, masih akan dikuasai oleh bank konvensional.
Salah satu alasannya, karena yang memegang uang lebih banyak saat ini adalah konsumen baby boomers atau 50 tahun ke atas. Rata-rata dari mereka gagap teknologi dan cenderung ingin dilayani perihal perbankan. Di sinilah, kata dia, bank konvensional masih memegang peranan penting.
Dalam kesempatan yang sama, Komisaris PT Bank Jago Tbk (ARTO) Anika Faisal mengatakan promosi dan marketing sangat diperlukan bagi bank baru. Tapi, harus dilakukan seimbang dengan hasil yang ingin dicapai.
Sebagai pemain di bank digital, Bank Jago akan mengedukasi nasabah bahwa di balik kemudahan dan kenyamanan yang didapat ada harganya.
"Kalau ada promo tapi rempong, belum tentu juga nasabah mau. Kompetisinya harus di-drive dan bertanggung jawab mendidik customer. Jadi bukan short term. Sebagai pemain, kita punya tanggung jawab. Kita bukan e-commerce yang bakar-bakar uang tanpa ada sustainability," ujar Anika. [rin]