WahanaNews.co | Pengamat ketenagakerjaan paparkan soal beberapa pasal dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) yang dianggap merugikan buruh, seperti upah, hak cuti dan alih daya.
Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menilai pasal-pasal dalam Perppu Ciptaker sebenarnya baru akan dijelaskan lebih lanjut di peraturan pemerintah (PP) sebagai turunannya.
Baca Juga:
Mahfud Ungkap Alasan Jokowi Terbitkan Perppu Ciptaker
Sehingga, seharusnya buruh fokus pada aturan turunan Perppu tersebut.
"Jadi kalau nanti perppu ini sudah ditetapkan oleh DPR sebagai UU, soal isinya baru akan diturunkan dari situ. Misalnya, soal upah minimum bisa nanti diperbaiki di PP 36/2021. Jadi di situ diperbaiki," jelasnya dilansir dari CNNIndonesiacom, Jumat (6/1).
"Jadi buruh itu lebih baik mempersiapkan diri apa yang konkret dia mau, perlukan. Memang pemerintah sudah mencatat selama ini yang sudah berkembang, tapi supaya lebih konkret, lebih baik mereka (sampaikan) apa konkretnya yang mau dia harapkan," imbuhnya.
Baca Juga:
Perspektif Yusril Ihza Mahendra soal Perppu Ciptaker
Dalam hal ini, Payaman menjelaskan soal hak cuti haid dan melahirkan yang dihapus dalam beleid tersebut.
Menurutnya, hak cuti tersebut bisa muncul di peraturan-peraturan turunan.
Sementara itu, terkait penjelasan jatah libur yang cuma sehari dalam seminggu, Payaman berpendapat bahwa pengertian yang dimaksud adalah minimum.
"Jadi tidak dikatakan hanya 1 hari libur dalam 1 minggu, gak begitu. Jadi kalau misalnya perusahaan memilih yang 5 hari kerja dalam 1 minggu, itu tetap boleh. Gak ada berubah itu," jelasnya.
Menurutnya, saat ini buruh lebih baik untuk memfokuskan kepada peraturan pemerintah (PP) yang menjadi turunan Perppu Ciptaker tersebut.
Payaman juga menanggapi soal 9 tuntutan buruh yang diklaim Presiden Partai Buruh Said Iqbal sebagai kesepahaman dengan unsur pengusaha, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
"Difokuskan ke PP saja. Misalnya ada 9 poin yang sudah mereka sepakati dengan pengusaha, itu diserahkan saja kepada pemerintah supaya nanti itu diterjemahkan dan dimasukkan ke dalam PP," pungkasnya.
Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Airlangga (Unair) Hadi Subhan menilai pasal 88F Perppu Ciptaker yang menyebutkan pemerintah bisa menetapkan formula perhitungan upah minimum berbeda dalam keadaan tertentu.
Alih-alih menolak, Hadi beranggapan hadirnya pasal tersebut bisa menjadi keuntungan untuk buruh.
Sebab, pemerintah bisa menetapkan kebijakan yang berbeda dari formula normal jika ada keadaan khusus.
Ia berkaca dengan penetapan formula upah minimum tahun lalu.
Hadi menilai buruh diuntungkan dengan kebijakan pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang mengeluarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum 2023.
"Perpu (Ciptaker) malah lebih baik daripada UU Cipta Kerja. Dalam UU Cipta Kerja semua pekerjaan bisa di-outsourcing-kan, tapi di perppu justru dibatasi," ujar Hadi soal pasal outsourcing yang dianggap merugikan buruh.
Hadi menilai Perppu Ciptaker mencoba membuat jalan tengah dengan merevisi beberapa ketentuan dari UU Cipta Kerja, termasuk soal upah minimum dan outsourcing yang dianggap menguntungkan.
"Perppu ini justru lebih baik dibanding dengan UU Cipta Kerja. Karena perubahan dalam perppu itu malah menguntungkan buruh dibanding dengan UU Cipta Kerja. Tapi kalo perppu dibandingkan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003, ya tentu lebih menguntungkan UU Nomor 13 Tahun 2003," tegasnya.
Tak jauh beda, Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Indonesia (UI) Aloysius Uwiyono tak bermasalah dengan pasal-pasal Perppu Ciptaker yang dianggap merugikan buruh.
Soal kewenangan baru di pasal 88F di mana pemerintah bisa menetapkan formula perhitungan upah minimum berbeda dalam keadaan tertentu, Aloysius tak menganggap hal tersebut bermasalah karena hanya berlaku dalam keadaan tertentu.
Terkait tenaga ahli daya atau outsourcing yang tidak disebutkan batasan jenis pekerjaannya, Aloysius berpendapat alih daya pekerjaan terbuka untuk macam-macam pekerjaan.
Di dalam perppu hanya mengatur alih daya pekerjaan, bukan alih daya pekerja.
"Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat 'tetap' atau 'terus menerus'. PKWT untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatannya dalam waktu tertentu. Jadi di sini masalah pengawasannya, bukan waktunya yang dipermasalahkan," tegasnya.
Terakhir, soal penghapusan cuti haid dan melahirkan bagi buruh atau pekerja perempuan, Aloysius menegaskan bahwa kedua cuti tersebut tetap ada dan diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. [rgo]