WahanaNews.co | Kebutuhan listrik nasional pada 2050 diprediksi tak akan terpenuhi, bahkan setelah Indonesia memaksimalkan potensi energi baru terbarukan (EBT) yang ada.
Oleh karena itu, pemerintah akan mencari sumber energi alternatif lainnya, termasuk nuklir, untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM Harris mengatakan jika semua potensi EBT yang ada di Indonesia telah dikembangkan dan diproduksikan, maka pemerintah akan mencari sumber energi alternatif lainnya untuk memenuhi konsumsi listrik pada 2050 yang mencapai 2.000 terawatt hour (TWh).
"Kalau sudah dikembangkan maka perlu dicari energi alternatif lain sehingga demand listrik tetap terpenuhi. Opsi nuklir juga masih terbuka," kata Harris, belum lama ini.
Teknologi ini dapat mengoptimalkan panas yang diekstraksi ke permukaan karena menggunakan casing yang memiliki kemampuan lebih baik untuk menyerap panas, dan sirkulasi fluida dilakukan secara tertutup (close system). Nuklir sebagai pembangkit listrik juga telah masuk dalam prioritas riset nasional 2020-2024.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Fokusnya adalah untuk memastikan keamanan dari pengembangan nuklir, baik dari segi lokasi dan pengembangan teknologinya. Sebelumnya, DEN menilai konsumsi listrik di tahun 2050 diprediksi akan tumbuh menjadi 2.000 TWh.
Sehingga listrik yang diproduksikan dari pembangkit EBT pun belum dapat mencukupi kebutuhan tersebut.
RI memiliki potensi panas bumi hingga 23,9 Gigawatt (GW). Namun listrik yang dihasilkan kemungkinan hanya mencapai 100 TWh. Sedangkan PLTA, dengan potensi yang ada saat ini maka listrik yang dapat diproduksikan hanya sekitar 250-300 TWh.
Sehingga gabungan keduanya hanya sekitar 500 TWh. Sedangkan, kebutuhan listrik RI dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 2050 diproyeksi sekitar 2.000 TWh.
Artinya ada kesenjangan sekitar 1.500 TWh. "Saat ini 1.500 TWh itu kalau boleh pakai, tentu kita pakai fosil dan gas. Kemudian sisanya EBT lainnya diutamakan yang mudah PLTS dan angin. Namun tidak tertutup kemungkinan nuklir. Jadi penggantian semua pembangkit fosil itu masih panjang," ujar Herman pekan lalu. [qnt]