WAHANANEWS.CO, Jakarta - Industri mobil listrik di Indonesia memang tengah melaju kencang. Namun di balik euforia kendaraan ramah lingkungan ini, ada satu sisi yang belum siap menyusul: pasar mobil listrik bekas.
Meski penjualan unit baru terus meningkat, pedagang mobil seken masih enggan menyentuh segmen ini. Alasan utamanya: harga tidak stabil dan risiko kerugian yang tinggi.
Baca Juga:
Lonjakan 55 Persen, Jasa Marga Catat Arus Keluar Jabotabek Capai 204 Ribu
Andi, pemilik showroom Jordy Motor di Mega Glodok Kemayoran (MGK), terang-terangan menolak menjual mobil listrik bekas.
“Saya tidak (menjual mobil listrik bekas). Karena harganya tidak stabil, pegang agak lama sedikit pasti rugi,” ujarnya, mengutip Kompas.com, Senin (9/6/2025).
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menyebut kondisi ini mencerminkan bahwa pasar mobil listrik bekas masih belum matang.
Baca Juga:
Polri: Pelaku ODOL Bisa Dipidana, Tak Hanya Sopir
“Mencerminkan ketidakpastian struktural pasar mobil bekas yang masih dalam tahap awal, sehingga belum terbentuk pola normalnya,” katanya.
Dari sisi konsumen, keraguan terbesar muncul karena kekhawatiran terhadap kualitas dan umur baterai. Yannes menjelaskan bahwa usia pakai baterai yang hanya 5–7 tahun, harga penggantian yang bisa mencapai 30–45 persen dari harga mobil barunya, serta sulitnya menilai kondisi baterai, menjadi momok utama.
"Faktor utama yang dipahami pasar mobil bekas adalah ketakutan terhadap kondisi baterai, harga penggantian baterai yang sangat mahal, sudah habisnya garansi pabrik, dan sulit dinilai kualitas baterainya oleh pembeli," ujar Yannes.
Belum lagi perkembangan teknologi baterai yang begitu cepat.
Mobil keluaran baru memiliki teknologi baterai yang lebih canggih, mampu menempuh jarak lebih jauh, dan mendukung fast charging dengan harga yang semakin terjangkau.
Situasi ini mempercepat depresiasi mobil listrik lama.
"Teknologi baterai baru semakin dapat melakukan fast charging, berdaya jangkau lebih jauh, dan harga baterainya semakin murah," ungkap Yannes.
"Depresiasi cepat yang terjadi akibat teknologi baterai dan EV yang berkembang sangat cepat membuat teknologi baterai lama menjadi cepat kuno."
Selain itu, subsidi pemerintah untuk mobil listrik baru membuat harga unit baru semakin menarik, sedangkan unit bekas makin kehilangan daya saing.
Ditambah lagi, infrastruktur pengisian daya dan layanan bengkel untuk EV di luar masa garansi masih minim.
Ketidakpastian terhadap harga baterai di masa depan pun menambah risiko bagi konsumen.
“Jadi, penurunan harga lebih menunjukkan pasar yang belum matang. Masyarakat belum siap dengan fenomena mobil yang semakin tidak bisa lagi mempertimbangkan resale value seperti halnya mobil ICE,” ujarnya.
Menurut Yannes, kepercayaan terhadap mobil listrik bekas akan terbentuk jika ekosistemnya ikut berkembang.
“Kepercayaan akan tumbuh jika ada standar garansi baterai, pembiayaan yang adil, edukasi konsumen yang masif, serta infrastruktur yang merata,” tegasnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]