"Ini terutama karena didengung-dengungkan oleh the Fed bahwa kita ini sedang ada di di dalam proses higher for longer, di mana tadinya pasar punya stance akhir tahun ini akan terjadi resesi di Amerika and there for tingkat suku bunga di Amerika akan turun sehingga yield curvenya waktu itu inverted," ucap Branko.
"Nah sekarang dia udah enggak inverted lagi, dia kembali steepening di longer maturity, jadi long tenor us treasury itu yeildnya naik, nah yield nya ini naik membuat menjadi capital outflow dari bond," tegasnya.
Baca Juga:
Rupiah Menguat Jelang Pelantikan Prabowo, Pasar Optimis Kabinet Baru
Faktor pemicu ketiga, Branko menjelaskan, adalah munculnya kemungkinan bahwa bank sentral AS, The Federal Reserve atau The Fed akan menempuh langkab kebijakan suku bunga acuan tinggi untuk jangka waktu lama atau yang dikenal dengan istilah higher for longer.
Akibatnya, tingkat suku bunga acuan Fed Fund Rate akan lebih tinggi ketimbang suku bunga acuan bank sentral negara lain, termasuk Bank Indonesia.
"Nah ini membuat dolar menjadi kuat kita lihat dolaar indeks itu juga naik, nah mengakibatkan dolar kuat terhadap seluruh dunia, bisa kita lihat enggak hanya terhadap Indonesia tetapi juga Eropa, Asia, South East Asia termasuk Indonesia," ucapnya.
Baca Juga:
Dolar AS Terus Menguat, Rupiah Tertekan ke Level Rp15.500
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menambahkan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS memang kini disebabkan kondisi eksternal yang tidak menentu, khususnya kebijakan suku bunga The Fed yang berpotensi masih akan tinggi demi menekan tren inflasi di AS yang sulit turun cepat.
Padahal, dari sisi domestik, Andry menilai kondisi perekonomian Indonesia terbilang baik, tercermin dari tingkat inflasi yang berhasil dikendalikan di level kisaran target Bank Indonesia, yakni 3% plus minus 1%, hingga geliat ekonomi RI masih terus bergerak tumbuh di kisaran 5%.
"Jadi memang lebih banyak faktor global yang mempengaruhi dari apa penguatan dolar Amerika Serikat terhadap mata uang regional saat ini," tutur Andry.