WahanaNews.co | Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E. Halim menilai perlindungan konsumen di Indonesia saat ini masih lemah. Untuk itu, diperlukan revisi atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
"Pandemi COVID-19 sudah menunjukkan perlindungan konsumen di Indonesia masih lemah, lewat fenomena panic buying, kelangkaan barang kebutuhan dan melonjaknya harga beberapa komoditas penting. Revisi UUPK perlu dilakukan dari sisi rentang waktu, UU Perlindungan Konsumen sudah berusia 21 tahun," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Apresiasi PLN UID Jakarta Raya yang Sukses Jaga Keandalan Listrik Salat Idul Fitri 1446 H di Masjid Istiqlal
Artinya, tambah Rizal, sudah banyak tertinggal dengan isu-isu aktual di bidang perlindungan konsumen, seperti masalah konsumen di era digital dan perlindungan data pribadi.
"Tentu untuk merespons dinamika yang terjadi di masyarakat, undang-undang perlu direvisi agar relevan dengan perkembangan saat ini," ujarnya.
Menurutnya, percepatan sinkronisasi, harmonisasi, respons kebijakan bidang perlindungan konsumen perlu dikedepankan sebagai salah satu program strategi nasional baik secara langsung maupun tidak langsung untuk membantu akselerasi pemulihan ekonomi nasional sesuai visi misi Presiden Joko Widodo.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Apresiasi Target Pemerintah Ubah Sampah Jadi Listrik di 30 Kota hingga 2029
Dalam kegiatan "Catatan Akhir Tahun Perlindungan Konsumen 2022", Rizal juga memaparkan komitmen BPKN terhadap perlindungan dan keamanan konsumen, yang dikukuhkan melalui penandatanganan Nota Kesepahaman antara BPKN dengan stakeholder dan juga melakukan edukasi secara masif.
"Edukasi yang dilaksanakan melalui diskusi publik dan amplifikasi konten edukasi di berbagai kanal media menjadi salah satu elemen krusial guna meningkatkan kesadaran konsumen tentang hak-haknya memitigasi berbagai risiko kejahatan," tegas Rizal. [eta]