WahanaNews.co |
Saat ini utang negara tengah jadi topik panas di sejumlah kalangan. Pasalnya, utang
di sejumlah negara termasuk Indonesia terus meningkat untuk menangani pandemi
covid-19.
Baca Juga:
Gawat! Banyak Anak Muda Terlilit Utang PayLater, OJK Serukan Edukasi Keuangan
Utang adalah hal krusial. Sebab, negara bisa saja bangkrut
karena tak mampu membayar utang.
Hal ini pernah dialami beberapa negara jauh sebelum pandemi
covid-19 merebak. Berikut rincian negara yang bangkrut karena utang:
Baca Juga:
OJK Bongkar Utang Jumbo Sritex: Ada Rp 14,64 Triliun yang Menanti Pembayaran
1. Yunani
Mengutip dari berbagai sumber, Yunani tak bisa membayar
utang senilai US$138 miliar atau Rp1.987 triliun (kurs Rp14.400 per dolar AS)
pada 2012 lalu.
Kemudian, Yunani disebut-sebut menyandang status bangkrut
pada 2015 karena utang terus meningkat hingga US$360 miliar atau Rp5.184
triliun. Kenaikan utang membuat jumlah orang miskin di Yunani melonjak.
Jumlah tunawisma naik hingga 40 persen pada 2015. Sementara,
pengangguran naik dari 10,6 persen pada 2004 menjadi 26,5 persen pada 2014.
Yunani kini mulai kembali ke pasar obligasi internasional
sejak 2017. Negara itu sempat menghilang akibat krisis utang.
Tahun lalu, Yunani menerbitkan obligasi bertenor tujuh
tahun, 10 tahun, dan 15 tahun. Negara tersebut memperoleh dana segar sebesar 12
miliar euro.
Dengan penerbitan obligasi pada 2020, rasio utang Yunani
diprediksi mencapai 188,8 persen dengan nilai utang 337 miliar euro, naik dari
posisi 2019 yang sebesar 331 miliar euro.
2. Argentina
Argentina dinyatakan gagal bayar (default) karena tak bisa
melunasi utang ke kreditur. Hal ini berawal dari kebijakan pemerintah Argentina
yang mematok US$1 sama dengan 1 peso Argentina.
Namun, mata uang Argentina dengan dolar AS menjadi tidak
akurat. Situasi itu menimbulkan kepanikan, sehingga banyak masyarakat yang
menarik uang di bank.
Pada 2005 dan 2010, Argentina mengumpulkan seluruh kreditur
untuk berdiskusi terkait restrukturisasi utang senilai US$100 miliar atau
Rp1.440 triliun.
Beruntung, mayoritas kreditur setuju dengan skema
restrukturisasi yang ditawarkan Argentina. Namun, pemerintah Argentina kembali
mengajukan pinjaman US$50 miliar atau Rp720 triliun ke Dana Moneter
Internasional atau International Monetary Fund (IMF) pada 2018.
Argentina mengajukan utang ke IMF untuk menangani krisis
ekonomi yang sedang terjadi saat itu. Krisis terjadi lantaran kenaikan inflasi
yang signifikan, sehingga mata uang peso Argentina anjlok hingga 40 persen
sepanjang 2018.
Sementara, Argentina mengungkapkan tak bisa membayar utang
ke IMF sebesar US$45 miliar atau Rp648 triliun pada tahun ini. Pemerintah
mengaku tak memiliki dana untuk membayarnya.
3. Zimbabwe
Zimbabwe terlilit utang hingga US$4,5 miliar atau Rp64,8
triliun pada 2008. Tingkat pengangguran Zimbabwe juga melonjak hingga 80
persen.
Masyarakat Zimbabwe berhenti menggunakan bank. Bahkan,
mereka juga berhenti membayar pajak dan tak menggunakan mata uang nasional
sebagai alat transaksi jual beli.
Zimbabwe juga mengalami hiperinflasi. Masyarakat tak lagi
bisa menjangkau harga bahan-bahan pokok.
Dengan demikian, uang seperti tak berarti bagi masyarakat
Zimbabwe selama harga barang terus melonjak. Mereka lebih memilih sistem
barter.
4. Venezuela
Pada 2017, Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengatakan
pemerintahannya tak bisa membayar seluruh utangn. Ia mengaku Venezuela dan
perusahaan minyak negara tersebut akan meminta restrukturisasi terhadap
pembayaran utang.
Maduro mengatakan perusahaan minyak negara telah membayar
utang sebesar US$1,1 miliar atau Rp1584 triliun. Jumlah itu disebut-sebut cukup
besar untuk untuk sebuah negara yang saat ini hanya memiliki dana US$10 miliar
atau Rp144 triliun di bank.
Venezuela tercatat memiliki utang kepada sejumlah negara.
Beberapa negara tersebut, antara lain China dan Rusia.
Ketika utang melonjak, jumlah masyarakat miskin ikut
meningkat. Sebagian besar masyarakat tak mampu membeli bahan pokok karena harga
melonjak lebih cepat ketimbang upah.
5. Ekuador
Ekuador menyatakan tak mau membayar utang pada 2008 lalu.
Pemerintah mengatakan utang dari hedge fund asal AS tak bermoral.
Ekuador sebenarnya mampu untuk membayar utang yang mencapai
US$10 miliar atau Rp144 triliun. Negara itu memiliki sumber daya alam cukup
banyak.
Namun, pemerintah lebih memilih tak membayar utang.
Pemerintah saat itu mengklaim utang negara di masa lalu disebabkan aksi korupsi
di pemerintahan sebelumnya.
IMF mencatat ekonomi Ekuador masih tumbuh. Pada 2014
misalnya, ekonomi Ekuador tumbuh 5,1 persen pada 2012.
Sementara, Ekuador mendapatkan pinjaman sebesar US$643 juta
atau Rp9,25 triliun dari IMF pada 2020. Dana itu digunakan untuk pembiayaan
darurat menangani pandemi covid-19.
[qnt]