WahanaNews.co | Sri Lanka menghadapi krisis ekonomi paling parah sejak memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948. Tak hanya krisis ekonomi, krisis kemanusiaan pun tak terelakkan.
Kini sekolah-sekolah ditutup karena kekurangan bahan bakar untuk membawa anak-anak dan guru ke ruang kelas. Upayanya untuk mengatur dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) juga telah terhambat oleh parahnya krisis keuangan negara.
Baca Juga:
Presiden Jokowi dan Presiden Wickremesinghe Bahas Peningkatan Kerja Sama Indonesia-Sri Lanka
Namun Sri Lanka bukan satu-satunya negara yang berada dalam masalah serius karena harga makanan, bahan bakar, dan bahan pokok lainnya melonjak dengan perang di Ukraina.
Lonceng alarm yang sama juga berdering untuk banyak ekonomi di seluruh dunia, mulai dari Laos dan Pakistan hingga Venezuela dan Guinea.
Menurut laporan Kelompok Tanggap Krisis Global dari Sekretaris Jenderal PBB, sekitar 1,6 miliar orang di 94 negara menghadapi setidaknya satu dimensi krisis pangan, energi dan sistem keuangan.
Baca Juga:
Bakamla RI Terima Kunjungan Kehormatan DSCSC Sri Lanka
Sekitar 1,2 miliar dari mereka tinggal di negara-negara dengan "badai sempurna" dan sangat rentan terhadap krisis biaya hidup ditambah krisis jangka panjang lainnya.
Penyebab pasti kesengsaraan mereka bervariasi, tetapi semua berbagi risiko yang meningkat dari melonjaknya biaya untuk makanan dan bahan bakar, didorong oleh pandemi Covid-19 serta terbaru perang Rusia melawan Ukraina.
Akibatnya, Bank Dunia memperkirakan bahwa pendapatan per kapita di negara berkembang akan menjadi 5% di bawah tingkat pra-pandemi tahun ini.