WahanaNews.co, Jakarta - Invasi Rusia terhadap Ukraina telah menuai kecaman luas dari berbagai belahan dunia. Salah satu penolakan terhadap tindakan agresif Rusia dicatat dalam sebuah resolusi PBB yang meraih dukungan dari 141 negara.
Indonesia menjadi salah satu negara yang memberikan dukungan terhadap resolusi tersebut di Majelis Umum PBB.
Baca Juga:
Bantu Rusia, Terungkap Kim Jong Un Kirim Tentara ke Ukraina
Dukungan dari Indonesia membuat resolusi tersebut menjadi salah satu yang paling banyak mendapatkan dukungan dalam sejarah Majelis Umum PBB.
Namun, sikap pemerintah ternyata cukup berbeda dengan reaksi banyak warganet Indonesia di media sosial. Pengamat melihat masyarakat Indonesia terpecah dalam menanggapi invasi Rusia.
Peneliti Studi Rusia dan Eropa Timur di Hubungan Internasional (HI) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Radityo Dharmaputra mengungkapkan percakapan media sosial di Indonesia terkait invasi Rusia-Ukraina didominasi para simpatisan Rusia.
Baca Juga:
3 Negara Ini Melarang Warganya Tersenyum kepada Orang Lain, Kok Bisa?
Radiotio menemukan bahwa masyarakat lebih cenderung mendukung invasi Rusia berdasarkan beberapa variabel.
Pertama, orientasi politik masyarakat Indonesia yang anti Amerika dan anti Barat.
Invasi Amerika Serikat ke negara-negara Timur Tengah pada masa Perang Melawan Teror atau “War on Terror” sejak September 2001 telah meningkatkan sentimen anti-Amerika.
Jadi masyarakat berpikir perlu memberontak terhadap siapapun yang menentang Amerika.
Dalam konteks invasi Rusia-Ukraina, orang-orang tampaknya dengan cepat sampai pada kesimpulan perlumendukung Rusia lantaran berselisih dengan Amerika Serikat.
"Kecenderungan masyarakat kita, setelah masa perang melawan terorisme, perang Irak, masyarakat lebih anti-Amerika dan anti-Barat," ungkap Radit, melansir CNN Indonesia.com, Selasa (21/2/2024).
"Kalau begitu narasi jadi mudah sekali dibuat, 'oh ini anti-Barat jadi kita harus dukung Rusia'. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, di banyak negara China, India, di Malaysia juga berpandangan seperti itu," lanjutnya.
Radit mengungkapkan masyarakat Indonesia sulit untuk memandang bahwa konflik yang terjadi hari ini adalah antara Rusia dan Ukraina. Publik seakan melihat persoalan ini antara Rusia dan Barat.
Sosok Presiden Rusia Vladimir Putin juga memperkuat sentimen masyarakat Indonesia yang lebih menyukai karakter pemimpin kuat dan tegas.
"Soal sosok Putin, kita (masyarakat Indonesia) itu senang dengan yang gagah, yang tegas. Jadi maunya pemimpin nasionalis," ujar Radit.
Masyarakat, menurut Radit, cenderung melihat sosok Putin memiliki citra yang sama seperti Presiden Pertama RI Soekarno, serta tokoh militer Prabowo Subianto.
Hal itu juga, kata Radit, menjadikan masyarakat Indonesia melihat sosok Putin lebih gagah dan tegas ketimbang Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang merupakan mantan komedian.
"Yang muncul, Putin adalah mantan intelijen. Sementara, Presiden Ukraina komedian. Seakan-akan kalau mantan intelijen bisa jadi pemerintah, sedangkan komedian jadi presiden kan dianggap negaranya enggak benar," ungkap Radit.
Sentimen agama juga mendasari dukungan publik Indonesia terhadap Rusia. Seperti diketahui, kanal media dan publikasi Rusia kerap menampilkan citra yang bersahabat dengan Islam beberapa tahun terakhir.
Salah satunya, Putin mengangkat tokoh muslim Ramzan Kadyrov sebagai Presiden Chechnya, negara bagian di Rusia. Nama Ramzan begitu masyhur di kalangan Muslim, seiring sorotan media, termasuk media Indonesia. Hal itu berdampak positif bagi Rusia yang dicitrakan bersahabat dengan Islam.
Radit menyebut di sebuah kanal YouTube Indonesia, Rusia juga dipercaya sebagai bangsa Rum yang akan beraliansi dengan Umat Muslim di akhir zaman.
Hal itu diperkuat dengan kelompok Azov neo-Nazi Ukraina yang melumuri pelurunya dengan lemak babi dan akan ditembakkan ke pasukan Chechen Rusia. "Ini narasi yang beberapa tahun lalu sudah ada, dan tidak benar sebenarnya. Pandangan (Rusia adalah bangsa Rum) itu cocoklogi (mengada-ada) saja," kata Radit.
Sebaliknya, Rusia justru memiliki sejarah konflik yang panjang dengan negara Islam. Sebut saja masa invasi Soviet ke Afghanistan pada 1970-an dan perang Chechnya pada 1990-an. Kemudian, pada 2015 lalu militer Rusia juga menyerang Suriah. Hal itu memperkuat bahwa Rusia sebenarnya juga anti-islam.
Rusia gencar melakukan diplomasi dengan memberikan dukungan untuk program Studi Rusia di universitas-universitas di Jakarta dan Bandung. Tiap tahunnya Rusia juga memberikan beasiswa kepada 250-260 mahasiswa untuk belajar ke Rusia.
Duta Besar Ukraina untuk Indonesia Vasyl Hamianin sempat marah kepada salah seorang 'pengamat Rusia' yang dihadirkan dalam sebuah diskusi di salah satu Universitas Negeri di Jakarta, baru-baru ini. Vasyl menyebut orang tersebut orang itu ahistoris, tidak ilmiah, dan propaganda komunis soviet.
Demikian pula dengan seorang akademisi lainnya yang menulis artikel dengan berulang kali menyebut propaganda Rusia. Bahwa invasi Rusia ke Ukraina hanya 'operasi militer yang bertujuan untuk demiliterisasi dan de-Nazifikasi'. Hal itu sejalan dengan narasi resmi pemerintah Rusia.
"Narasi yang dibangun, presentasinya, sama persis dengan argumen Pemerintah Rusia, bahwa tidak ada perang, yang ada hanyalah operasi militer. Logika dan kalimat yang digunakan sama persis," ucap Radit.
Aspek penting lain yang mendorong banyaknya pandangan pro-invasi Rusia di Indonesia adalah minimnya akses informasi di masyarakat. Hal itu dipicu keterbatasan media untuk mengirimkan jurnalis ke lokasi konflik hingga menghasilkan berita yang kredibel.
Persoalan itu juga tak lepas dari rendahnya literasi digital masyarakat Indonesia. Bias informasi menjadi hal berbahaya jika dikonsumsi mentah-mentah.
"Literasi digital kita memang masih rendah, masyarakat kita tidak dibiasakan mengecek sumber informasi yang lebih dalam dan kredibel," ucapnya.
Radit menjelaskan, sentimen Indonesia yang mendukung invasi Rusia ke Ukraina juga didasari oleh kekecewaan terhadap negara-negara Barat yang cenderung bertoleransi terhadap konflik Israel dan Palestina.
Amerika Serikat menjatuhkan sanksi terhadap Rusia segera setelah invasi dimulai.
Di sisi lain, mengabaikan serangan Israel terhadap Palestina yang telah berlangsung selama lebih dari 70 tahun dianggap sebagai standar ganda.
Menurut Luddite, sikap tersebut patut dikritisi. Namun, hal ini tidak boleh dijadikan alasan untuk mendukung Rusia dan invasinya ke Ukraina.
"Amerika bersikap standar ganda, harusnya kecam ini, kecam semua. Tapi apakah karena kita kecewa dengan perlakuan Barat, lalu kita mengiyakan dan membiarkan Invasi Rusia ke Ukraina terjadi, kan tidak bisa begitu. Kita bisa kritik Barat, di saat yang sama kita mendukung supaya Rusia berhenti menyerang Ukraina," pungkasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]