WahanaNews.co, Jakarta - Pemerintah semakin serius dalam melaksanakan rencana pemindahan ibu kota negara (IKN) Republik Indonesia dari Jakarta, Pulau Jawa, ke Nusantara, Pulau Kalimantan.
Kabar terbaru mencatat bahwa Jakarta akan diubah menjadi provinsi kawasan aglomerasi setelah kehilangan statusnya sebagai daerah khusus ibukota atau DKI, sesuai dengan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta.
Baca Juga:
Prabowo Subianto Sambangi Gedung Putih, Rayakan 75 Tahun Hubungan Diplomatik dengan AS
RUU ini telah disetujui oleh para anggota dewan sebagai usulan inisiatif DPR.
Konsep kawasan aglomerasi dalam perencanaan wilayah dijelaskan sebagai suatu area perkotaan yang mengintegrasikan pengelolaan beberapa daerah kota dan kabupaten dengan kota induknya, meskipun memiliki perbedaan administratif.
Langkah ini diharapkan akan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi nasional dengan skala global.
Baca Juga:
Demokrat Tuding Keputusan Biden sebagai Penyebab Kegagalan Harris Hadapi Trump
Pendekatan ini akan menyatukan administrasi pemerintahan, sektor industri, perdagangan, transportasi yang terpadu, dan bidang strategis lainnya untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan nasional.
Dalam pasal 51 ayat 2 draf RUU itu misalnya kawasan aglomerasi mencakup tak hanya Jakarta.
Tapi mencakup juga Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.
Namun menarik ke belakang, mengapa ibu kota negara RI harus dipindah? Kenapa pula harus ke luar Jawa.
Sebenarnya hal ini pernah disinggung Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di tahun 2021. Ia mewanti-wanti ancaman besar bakal melanda Indonesia.
Dalam pidato sambutan di kantor Direktur Intelijen Nasional AS, Presiden menyatakan bahwa Jakarta diprediksi akan terendam dalam waktu 10 tahun mendatang akibat perubahan iklim.
Pernyataan ini disampaikannya dalam konteks perubahan iklim yang dianggap sebagai ancaman terbesar yang sedang dihadapi oleh seluruh dunia.
Naiknya permukaan laut, sebagai dampak perubahan iklim, dipandang sebagai ancaman serius yang dapat menyebabkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan bahkan kehidupan.
Dalam pidatonya, Presiden menyoroti bahwa proyeksi tersebut tidaklah tanpa dasar.
Badan Antariksa AS, NASA, telah memberikan informasi bahwa meningkatnya suhu global dan pencairan lapisan es dapat mengakibatkan risiko banjir dan kenaikan air laut yang signifikan di kota-kota pesisir seperti Jakarta.
NASA melaporkan bahwa rata-rata kenaikan permukaan laut global sebesar 3,3 mm per tahun, bersama dengan intensitas badai hujan yang meningkat, menjadikan banjir sebagai kejadian yang semakin umum.
Presiden menambahkan pertanyaan mengenai nasib Indonesia, khususnya Jakarta, jika proyeksi ini terbukti benar dan mereka harus memindahkan ibu kota mereka karena potensi terendam dalam air dalam 10 tahun ke depan.
NASA juga mempublikasikan gambar-gambar landsat yang menunjukkan evolusi Jakarta selama tiga dekade terakhir.
Pembabatan hutan dan vegetasi di sepanjang sungai Ciliwung dan Cisadane, bersamaan dengan peningkatan populasi yang lebih dari dua kali lipat antara 1990 dan 2020, telah menyebabkan dataran banjir menjadi lebih padat dan lebih rentan terhadap risiko banjir, terutama karena saluran sungai dan kanal yang menyempit atau tersumbat oleh sedimen dan sampah secara berkala.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]