WahanaNews.co | Tragedi jembatan ambruk di India meninggalkan pilu mendalam dari seorang ibu. Ia harus kehilangan tiga anaknya dalam tragedi jembatan yang bersejarah di era kolonial itu.
Ibu ini bercerita, pada Minggu (30/10/2022) malam, Chirag Mucchadiya (20), dan saudara-saudaranya, Dharmik (17), dan Chetan (15) pergi jalan-jalan.
Baca Juga:
Jembatan Gantung Parjalihotan Tapteng Rusak, Warga Was-was Melintas
Mereka memberi tahu ibu mereka Kantaben bahwa mereka akan pergi ke "julto pul", atau jembatan gantung yang telah dibuka kembali hanya beberapa hari sebelumnya, setelah berbulan-bulan diperbaiki.
Itu adalah minggu perayaan Diwali. Sekolah diliburkan, dan banyak keluarga memiliki ide yang sama seperti Chirag dan saudara-saudaranya.
Mereka membeli tiket -17 rupee (USD0,21 atau Rp 3.279) untuk dewasa dan 12 rupee (Rp 2.265) untuk anak-anak untuk berjalan melintasi jembatan setinggi 230 meter (755 kaki).
Baca Juga:
Hore!! Jembatan Gantung Pulo Godang Batangtoru Akan Segera Direnovasi
Dan ternyata ini adalah hari terakhir mereka. Chirag, Chetan, dan Dharmik diketahui menjadi korban tewas di antara total jumlah korban sekitar 141 orang.
Kembali ke rumah saudara, salah satu teman mereka memberi tahu ibu mereka, Kantaben, bahwa jembatan itu telah runtuh.
"Saya mulai menelepon putra-putra saya, tetapi saya tidak bisa tersambung," katanya, dikutip BBC.
"Saya sangat gelisah dan mulai mondar-mandir di rumah saya,” lanjutnya.
Suaminya Rajesh bergegas ke tempat kejadian. Kemudian dia mulai berkeliling rumah sakit mencari anak-anaknya. Pukul 23.00 waktu setempat, jenazah Dharmik dan Chirag ditemukan di Rumah Sakit Sipil Morbi.
Dalam kegelapan malam, polisi, pejabat setempat, tim tanggap bencana, dan personel militer melanjutkan pencarian mereka yang selamat, dan mayat-mayat.
Pukul 03.00 waktu setempat, jasad Chetan juga ditemukan. Di rumah Mucchadiya, arus pelayat mulai berdatangan.
"Kami telah kehilangan semua putra kami, segalanya bagi kami," ujar sang ibu.
"Apa yang kita miliki sekarang? Suamiku dan aku sendirian,” tambahnya.
Sang anak, Chirag, 20, bekerja di pabrik pembuatan kacamata. Bersama sang ayah yang bekerja sebagai sopir, mereka menopang kebutuhan keluarga.
"Chirag adalah orang yang sangat baik. Dia mendengarkan semua yang saya katakan. Dan saya juga mencoba memberikan apa pun yang dia minta," ujar sang ayah.
Sedangkan Dharmik akan berusia 18 tahun pada 14 Desember mendatang. Dia diketahui sudah mulai mencari pekerjaan.
"Dia sangat nakal. Kami bersenang-senang bersama. Sekarang mereka semua pergi," ujar sang ayah sedih.
"Dia menyukai tel paratha (roti pipih goreng) dan selalu ingin saya membuatnya untuknya," tambah ibunya.
Chetan adalah yang termuda dan duduk di kelas sepuluh di sekolah. Sang ayah, Rajesh menggambarkannya sebagai "ahli dalam studi".
Mereka dengan bangga memamerkan foto ukuran paspor putra mereka, yang tampaknya diambil beberapa tahun yang lalu, ketika mereka masih muda.
"Siapa pun yang bertanggung jawab atas kematian putra saya harus dihukum," ujar sang ibu.
"Mereka harus membusuk di penjara selama sisa hidup mereka. Mereka harus dijatuhi hukuman mati,” lanjutnya.
"Kami menginginkan jawaban. Dan kami menginginkan keadilan,” tegas sang ayah.
Rajesh menyerukan penyelidikan yang tepat.
"Kalau tidak, orang-orang akan terus mati seperti anak-anak saya,” tambahnya.
Ada banyak keluarga yang kehilangan lebih dari satu anggota dalam keruntuhan.
Sementara itu, Nitin Kavaiya yang juga ada di sana menyaksikan ambruknya jembatan itu disertai banyak teriakan orang-orang.
Dia datang bersama istrinya, dan dua putrinya - satu berusia tujuh tahun, dan yang lainnya seorang bayi berusia tujuh bulan. Beruntung dia dan keluarganya tidak sedang berada di atas jembatan saat insiden itu terjadi.
Keluarga itu berpose untuk foto selfie. Sekitar pukul 18.30 waktu setempat mereka turun dari jembatan dan duduk di salah satu tepi sungai Macchu.
"Di jembatan itu sangat ramai. Saya kira mungkin ada 400-500 orang di sana," terangnya.
"Saya pergi dan memberi tahu orang-orang yang menjual tiket bahwa mereka harus mengurangi kerumunan. Saya tidak tahu apa yang mereka lakukan,” lanjutnya.
Sepuluh menit kemudian, ketika dia membungkuk untuk memberi minum ke bayinya, dia mendengar suara teriakan dan jeritan.
Jembatan itu putus, lebih dekat ke tepi pantai yang lain, jalur logamnya menjuntai di kedua sisi.
"Saya melihat orang-orang tergelincir ke dalam air dan mereka tidak muncul ke permukaan setelah itu," katanya.
"Yang lain berpegangan pada bagian jembatan mencoba untuk tetap mengapung. Banyak dari kami mencoba membantu siapa pun yang kami bisa,” lanjutnya.
“Setiap kali saya memejamkan mata sekarang saya hanya melihat visual jembatan yang runtuh, dan mendengar suara-suara orang yang tercebur ke sungai,” ujarnya.
"Saya merobek potongan tiket yang saya miliki dengan marah. Dan bukan hanya saya - seluruh kota berduka dan marah,” ungkapnya. [Tio]