WahanaNews.co | Seorang
perempuan Afghanistan bertutur tentang kisah keluarganya yang hancur setelah
ayahnya menghilang saat Taliban berkuasa pada 1999.
Baca Juga:
Bio Farma Hibahkan 10 Juta Dosis Vaksin Polio untuk Afghanistan
Friba, kini tinggal London, ketika itu ia masih berusia 10
tahun. Dia terakhir kali melihat ayahnya di rumah mereka di Herat, kota
terbesar ketiga di Afghanistan.
Pihak keluarga dan Friba meyakini ayahnya telah diculik oleh
Taliban.
Inilah kisahnya. Sejumlah nama disamarkan untuk melindungi
identitas mereka yang terlibat.
Baca Juga:
Afghanistan Kembali Gempa Bumi Berkekuatan 6,3 Magnitudo
"Hidup di bawah rezim Taliban seperti memiliki hubungan
dengan kekerasan. Pada awalnya baik. Mereka mengumbar janji, mereka melangkah
dengan hati-hati, mereka bahkan menepati beberapa janji," ujarnya.
"Tapi ketika Anda dibuai rasa aman yang palsu, di
situlah mereka membuat perencanaan," sambungnya.
Segera, dan sedikit demi sedikit, ketika dunia mulai bosan
dengan Afghanistan, dan media mengalihkan perhatiannya, mereka mencengkeramkan
kekuatan dari hari ke hari, dan siklus kebiadaban dimulai lagi.
"Ayah saya lahir di Herat. Dia lulusan Univeritas
Kabul. Setelah lulus, dia menikah dan mulai bekerja di dalam sebuah tim kecil
untuk pemerintahan Afghanistan saat itu. Ketika pasukan Rusia pergi, dan para
Mujahid mengambil kekuasaan, ayah saya mendapat pekerjaan di sebuah LSM,"
tuturnya.
"Saat Taliban bergerak ke Herat, ayah saya punya
kesempatan untuk pergi, tapi ia memilih untuk tetap tinggal. Dia sangat
mencintai pekerjaannya, dan dia mencintai Herat," sambung Friba.
"Hidup berjalan sangat kejam di bawah rezim Taliban.
Ayah saya punya empat anak perempuan yang hak pendidikannya telah dirampas, dan
seorang bayi laki-laki. Tetapi pekerjaan itu bermanfaat, dia punya ambisi,
untuk dirinya sendiri dan untuk kami, dan bekerja dengan hewan-hewan membuat
hidup lumayan," ucap Friba.
Diculik Taliban
"Suatu pagi di pertengahan Juni 1999, ayah saya baru
saja selesai sarapan, dan bersiap untuk pergi bekerja. Dia menatap saya, dan
tersenyum ketika dia menaiki sepeda dan pergi," sambungnya.
Dia mengatakan, beberapa menit kemudian, sejumlah tetangga
mendatangi rumahnya dengan membawa sepeda ayahnya. Mereka mengatakan, Taliban
telah membawanya.
"Saya tak akan lupa wajah ibu saya saat itu. Wajah ibu
membeku karena kaget. Dia meraih tangan adik laki-laki saya yang berusia lima
tahun, lalu lari keluar pintu, putus asa untuk menemukan ayah. Malam harinya
ibu saya kembali, seolah dengan beban di pundaknya," tuturnya.
Dia mengatakan tak ada kabar tentang ayahnya sejak saat itu.
Dia mengaku tak tahu apakah ayahnya masih hidup atau tidak.
"Paman saya dan teman-temannya tak berhasil mencari
tahu di mana ia ditahan," ucapnya.
"Saban hari, ibu saya pergi ke kantor Taliban. Mereka
menolak untuk mendengarkan ibu saya. Setelah lelah berjalan, paman saya pergi
ke Kandahar di mana dia mendapat informasi Taliban memindahkan beberapa tahanan.
Tapi itu juga tak ada kabar. Kemudian, dia pergi ke Kabul dan Mazar-i-Sharif.
Tapi hasilnya sama-sama nihil," jelasnya.
Dia mengatakan tetangganya menyaksikan penangkapan ayahnya
dan yakin kalau pelakunya adalah anggota Taliban. Menurutnya, orang-orang yang
ditangkap itu dilepaskan di penjara Herat.
"Tetangga kami yang menyaksikan penangkapan ayah, yakin
betul. Mereka telah melihat anggota Taliban yang sama yang menangkap tetangga
lainnya, dan kemudian melepaskan mereka dari penjara di Herat. Ibu saya sangat
kuat, seperti singa, dia tak akan membiarkan ayah hilang begitu saja,"
ujarnya.
"Ia melawan nasihat dari keluarga. Dia membawa adik
laki-laki saya (karena di bawah pemerintahan Taliban, perempuan hanya boleh
bepergian dengan laki-laki meskipun itu hanya anak laki-laki) dan pergi ke
Kandahar ke kantor pimpinan Taliban, Mullah Omar," sambungnya.
Dia mengatakan Taliban memukul dan mengancam ibunya. Mereka
mengatakan, jika ibunya memunculkan diri lagi, maka akan dihukum rajam.
"Ibu saya kembali ke rumah dengan kecewa, dan
pasrah," tuturnya.
Tak Akan Melupakan
Kekejaman Taliban
"Hidup di bawah Taliban itu seperti hidup di neraka
yang bergerak ke lubang hitam penuh keputusasaan. Ibu saya, mengkhawatirkan
hidup kami, memutuskan untuk meninggalkan Afghanistan dan membawa kami ke
Mashhad, Iran," ucap Friba.
Pada 2004, ketika keadaan membaik di Afghanistan, dirinya
sempat pulang. Dia mengaku ingin melanjutkan pendidikan dan membuat sesuatu
yang berarti bagi dirinya.
"Ayah punya harapan pada kami, untuk kami penuhi. Saya
masih ingat senyum manisnya, dan saya masih punya pena yang pernah ia berikan
pada saya. Kami tak bisa menangisinya, dan kami tak akan melupakannya,"
ucapnya.
"Saat kami melihat berita Taliban mengambil alih
kekuasaan Afghanistan lagi, saya khawatir sejarah yang kami alami akan
terulang," sambung Friba.
Friba yang sudah menikah dan tinggal di Inggris khawatir
dengan ibu dan saudara-saudaranya yang masih ada di Afghanistan. Dia juga
khawatir dengan nasib jutaan keluarga yang diperkirakannya akan menderita.
"Satu-satunya kejahatan mereka adalah lahir di
Afghanistan." [dhn]