WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ia jatuh cinta di usia belia, lalu hidup dalam bayang-bayang teror kekaisaran narkoba; begitulah nasib Maria Victoria Henao yang menjadi saksi pelarian, perang, dan kematian Pablo Escobar.							
						
							
							
								Kehidupan Maria Victoria Henao, gadis dari keluarga sederhana di Kolombia, berubah drastis ketika ia memilih menikah dengan Pablo Escobar dan terjerat dunia penuh ketakutan, kekerasan, serta kemewahan yang meninggalkan luka panjang.							
						
							
								
									
									
										Baca Juga:
										Negara Gempar, Kandidat Presiden Kolombia Ditembak di Kepala Saat Kampanye
									
									
										
											
										
									
								
							
							
								Kisahnya tidak hanya tentang istana yang dibangun dari uang darah, tetapi juga tentang kesunyian dan bayang-bayang maut yang mengintai setiap langkahnya setelah sang suami tumbang dan ia dipaksa bertahan hidup sebagai ibu dua anak tanpa perlindungan.							
						
							
							
								Lahir pada 1961 di Palmira, Kolombia, Henao bertemu Escobar ketika ia baru berusia 12 tahun dan kakaknya bekerja untuk calon gembong narkoba itu, dan meski orang tuanya melarang, ia terpikat oleh sikap romantis Escobar yang digambarkannya sebagai pria lembut dan penuh kasih.							
						
							
							
								Dalam memoarnya My Life and My Prison With Pablo Escobar, ia menulis “Dia membuatku merasa seperti seorang putri dongeng, dan aku yakin dialah pangeranku,” sebagaimana dikutip dari The Vintage News pada Hari Minggu (19/10/2025).							
						
							
								
									
									
										Baca Juga:
										China Tawarkan Jet J-10CE ke Kolombia, Sinyal Pengaruh Baru di Amerika Latin
									
									
										
									
								
							
							
								Namun perhatian romantis itu segera berubah menjadi dominasi penuh kontrol ketika Escobar menuntut kesetiaan total, melarangnya membantah, dan membentuk dirinya sebagai istri yang tidak memiliki ruang untuk menentang.							
						
							
							
								Henao bercerita bahwa pada usia 14 tahun ia hamil lalu dibawa Escobar ke klinik gelap untuk aborsi, sementara setahun kemudian tepatnya pada 1976 ia menikah pada usia 15 tahun dengan Escobar yang kala itu berusia 26 tahun, bahkan uskup sempat bertanya apakah ia benar siap menjadi istri pria jauh lebih tua.							
						
							
							
								Seiring Escobar membangun Kartel Medellín yang kelak menguasai 80 persen jalur kokain menuju Amerika Serikat, rumah tangga mereka dipenuhi perselingkuhan, rumor, dan air mata, karena Henao mengaku sering menangis sepanjang malam mengetahui suaminya memiliki banyak wanita.							
						
							
								
							
							
								Meski Escobar dikenal mencintai anak-anaknya, ia jarang berada di rumah dan kehidupan keluarga itu segera diselimuti teror ketika kekuasaan kartel semakin brutal, termasuk pembunuhan pejabat seperti Menteri Kehakiman Rodrigo Lara pada 1984 dan aksi kekerasan lainnya yang menggemparkan Kolombia.							
						
							
							
								Henao mengakui ia bungkam demi keselamatan keluarga, hidup seperti tahanan dalam rumah megah, dan menyadari bahwa ketenangan adalah kemewahan yang tak dapat ia miliki sebagai istri raja kokain.							
						
							
							
								Menjelang kejatuhan Escobar, keluarga ini berpindah-pindah rumah aman sementara sang buronan terbesar Kolombia terus diburu, dan Henao mengatakan “Meninggalkannya di saat segalanya runtuh adalah hal terberat yang pernah kulakukan,” dikutip dari All That’s Interesting pada Hari Senin (02/12/2025).							
						
							
								
							
							
								Semua berakhir pada 2 Desember 1993 ketika Escobar tewas dalam baku tembak dengan Search Bloc, dan setelah itu Henao serta anak-anaknya melarikan diri ke berbagai negara termasuk Jerman dan Mozambik, namun ditolak suaka di kedua tempat tersebut.							
						
							
							
								Mereka akhirnya berlabuh di Buenos Aires, Argentina, dengan identitas baru, namun ketenangan itu sirna ketika pada 1999 Henao dan putranya Juan Pablo ditangkap atas tuduhan pencucian uang dan meski kemudian bebas karena kurang bukti, Henao berkata bahwa ia dipenjara bukan karena perbuatannya tetapi karena namanya.							
						
							
							
								“Aku menjadi tahanan di Argentina karena aku orang Kolombia,” katanya sambil menambahkan bahwa mereka ingin mengadili bayangan Pablo Escobar demi menunjukkan sikap keras terhadap perdagangan narkoba.							
						
							
								
							
							
								Dalam bukunya, Henao mengaku tidak mampu pergi bukan hanya karena cinta tetapi juga karena ketakutan dan ketidakpastian, dan menyadari bahwa di balik penjara emosional itu, Escobar juga lah yang memberikan perlindungan dari musuh yang siap memburu keluarganya kapan saja.							
						
							
							
								Sekian tahun kemudian, setelah memilih hidup tertutup hampir dua dekade, Henao meminta maaf kepada rakyat Kolombia atas teror yang dilakukan suaminya, dengan mengatakan dalam wawancara kepada W Radio Kolombia pada 2018 bahwa ia “bukan bagian dari kartel itu” dan hidupnya “jauh dari bahagia.”							
						
							
							
								Kini kisah hidupnya menjadi bagian kelam sejarah narkotika dunia dan turut diangkat dalam budaya populer seperti serial Narcos (2015–2017), yang membuat namanya tetap hidup dalam bayang-bayang legenda hitam Pablo Escobar.							
						
							
								
							
							
								[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]