WahanaNews.co | Sanksi Barat berupa embargo minyak dan gas dari Rusia dipastikan bisa memangkas pendapatan Rusia secara telak. Akan tetapi, hantaman yang sama juga dirasakan oleh negara-negara Eropa.
Para pemimpin Benua Biru secara terbuka mengakui ketergantungan mereka pada pasokan energi Rusia. Salah satunya Jerman.
Pekan lalu, bank sentral Jerman memperingatkan bahwa penghentian tiba-tiba impor gas dari Rusia dapat menyebabkan jatuhnya output ekonomi Jerman. Ini juga menyebabkan melonjaknya inflasi.
Baca Juga:
Australia Mau Larang Anak di Bawah 16 Tahun Main Medsos, Ini Alasannya
The Deutsche Bundesbank memperingatkan akhir pekan lalu bahwa embargo gas alam Rusia dapat menyebabkan ekonomi Jerman turun 5% dari target yang diharapkan tahun ini.
Hal tersebut berpotensi mendorong Jerman ke dalam resesi sembari ikut mendorong harga konsumen yang juga telah naik signifikan.
Bundesbank pun menyebut dampak ekonomi Jerman dari penghentian pembelian minyak, gas, dan batu bara Rusia dapat menelan biaya 180 miliar euro (US$ 195 miliar). Ini setara dengan Rp 2.798 triliun (asumsi kurs Rp 14.350/US$).
Baca Juga:
Program CSR Akar Basah PEP Tarakan Field Dapat Perhatian APOGCE 2024
Bank sentral Jerman itu mengatakan prediksi tersebut memiliki ketidakpastian yang cukup tinggi, mengingat kondisi krisis yang tidak mudah ditakar terkait invasi Rusia ke Ukraina.
Tetapi model ekonominya menunjukkan bahwa penghentian gas alam Rusia, yang sebelum perang menyumbang 55% dari pasokan Jerman, akan menyebabkan produk domestik bruto (PDB) tahun ini menyusut 2%.
"Bukannya tumbuh 3% seperti yang diprediksi sebelumnya," ujar The Deutsche Bundesbank dalam laporannya, dikutip Senin.
Bundesbank juga memperingatkan bahwa kebutuhan untuk menemukan sumber energi pengganti akan mendorong laju inflasi. Kenaikan harga akan bertambah lebih dari 1,5% secara persentase poin untuk indeks harga konsumen (IHK) tahun ini dan lebih dari 2% untuk tahun depan.
Bukan hanya Jerman yang "teriak". Eropa pun demikian.
Minggu lalu, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) juga turut memperingatkan bahwa perang di Ukraina akan menyeret turun ekonomi zona euro. IMF menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi menjadi 2,8% dari diprediksi pada Januari sebesar 3,9%.
Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet L. Yellen juga menilai bahwa larangan impor gas Rusia dapat memiliki efek "berlawanan" dan merugikan benua itu lebih parah dari Rusia. Terutama karena harga bahan bakar global meroket.
"Eropa jelas perlu mengurangi ketergantungannya pada Rusia sehubungan dengan energi," kata Yellen kepada wartawan di Washington pada Kamis, dilansir The New York Times.
"Jadi memang kita harus berhati-hati saat memikirkan larangan (ekspor) Eropa sepenuhnya."
Pekan lalu, bank sentral Jerman memperingatkan bahwa penghentian tiba-tiba impor gas dari Rusia dapat menyebabkan jatuhnya output ekonomi Jerman. Ini juga menyebabkan melonjaknya inflasi.
The Deutsche Bundesbank memperingatkan akhir pekan lalu bahwa embargo gas alam Rusia dapat menyebabkan ekonomi Jerman turun 5% dari target yang diharapkan tahun ini. Hal tersebut berpotensi mendorong Jerman ke dalam resesi sembari ikut mendorong harga konsumen yang juga telah naik signifikan.
Bundesbank pun menyebut dampak ekonomi Jerman dari penghentian pembelian minyak, gas, dan batu bara Rusia dapat menelan biaya 180 miliar euro (US$ 195 miliar). Ini setara dengan Rp 2.798 triliun (asumsi kurs Rp 14.350/US$).
Bank sentral Jerman itu mengatakan prediksi tersebut memiliki ketidakpastian yang cukup tinggi, mengingat kondisi krisis yang tidak mudah ditakar terkait invasi Rusia ke Ukraina.
Tetapi model ekonominya menunjukkan bahwa penghentian gas alam Rusia, yang sebelum perang menyumbang 55% dari pasokan Jerman, akan menyebabkan produk domestik bruto (PDB) tahun ini menyusut 2%.
"Bukannya tumbuh 3% seperti yang diprediksi sebelumnya," ujar The Deutsche Bundesbank dalam laporannya, dikutip Senin.
Bundesbank juga memperingatkan bahwa kebutuhan untuk menemukan sumber energi pengganti akan mendorong laju inflasi. Kenaikan harga akan bertambah lebih dari 1,5% secara persentase poin untuk indeks harga konsumen (IHK) tahun ini dan lebih dari 2% untuk tahun depan.
Bukan hanya Jerman yang "teriak". Eropa pun demikian.
Minggu lalu, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) juga turut memperingatkan bahwa perang di Ukraina akan menyeret turun ekonomi zona euro. IMF menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi menjadi 2,8% dari diprediksi pada Januari sebesar 3,9%.
Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet L. Yellen juga menilai bahwa larangan impor gas Rusia dapat memiliki efek "berlawanan" dan merugikan benua itu lebih parah dari Rusia. Terutama karena harga bahan bakar global meroket.
"Eropa jelas perlu mengurangi ketergantungannya pada Rusia sehubungan dengan energi," kata Yellen kepada wartawan di Washington pada Kamis, dilansir The New York Times.
"Jadi memang kita harus berhati-hati saat memikirkan larangan (ekspor) Eropa sepenuhnya."
Embargo migas Rusia dipastikan jadi "senjata makan tuan" ke Eropa. Lalu apa ada solusi?
UE, yang telah mengurangi ketergantungannya pada batu bara dan memilih menggunakan gas alam untuk mengurangi potensi bencana perubahan iklim, memang menghadapi dilema sejak awal sanksi ekonomi yang menargetkan migas Rusia diumumkan.
Energi terbarukan, seperti matahari dan angin sebenarnya diharapkan dapat mengganti peran batu bara. Tetapi saat ini bauran energi tersebut masih tidak cukup.
Hal ini mengakibatkan peningkatan penggunaan gas alam di Eropa. Secara keseluruhan, UE mendapat sekitar 40% dari impor gas alamnya dari Rusia.
Jerman, importir terbesar blok itu, mengandalkan Rusia untuk lebih dari dua pertiga gas alamnya pada tahun 2020. Italia, pembeli terbesar kedua blok itu, menerima hampir setengah dari impornya dari Rusia.
Untuk jangka pendek, egara-negara Eropa pun telah mencari cara untuk meningkatkan penggunaan sumber-sumber alternatif. Salah satunya adalah gas alam cair.
LNG adalah gas alam biasa yang telah didinginkan ke keadaan cair pada suhu negatif 162 derajat Celcius. Dalam keadaan cair, bahan bakar membutuhkan volume sekitar 600 kali lebih sedikit, memungkinkannya untuk dikirim secara efisien ke tempat-tempat yang tidak dilayani oleh jaringan pipa.
LNG menyumbang sekitar seperempat dari impor gas UE pada tahun 2020, dengan sisanya datang melalui pipa. Sementara Rusia mendominasi perdagangan pipa, negara-negara lain seperti AS dan Qatar memasok LNG dengan porsi yang lebih besar dari Rusia.
Namun, untuk meningkatkan impor LNG, negara-negara Eropa tetap perlu membangun fasilitas untuk menerima gas, serta mencari sumber baru untuk mendapatkannya.
Australia, Qatar, dan AS adalah pengekspor LNG terbesar di dunia saat ini. Tetapi sebagian besar pasokan mereka ditujukan ke importir Asia, seperti China dan Jepang. Eropa tentu harus bersaing dengan negara-negara tersebut untuk mengamankan pasokan yang dapat diandalkan. [qnt]