WAHANANEWS.CO, Jakarta - Forum Xiangshan di Beijing kembali menjadi sorotan dunia ketika China dengan tegas menggunakannya sebagai panggung untuk menampilkan kekuatan baru dalam tatanan global.
Ajang ini sekaligus menjadi tantangan terbuka terhadap dominasi forum keamanan internasional yang biasanya dikuasai Amerika Serikat dan sekutunya.
Baca Juga:
Masyarakat Korut Makan Harimau hingga Beruang Akibat Kelaparan Ekstrem
Forum keamanan tahunan yang berlangsung pada Rabu–Jumat (17–19/9/2025) itu dipandang luas sebagai tandingan atas Dialog Shangri-La di Singapura.
Di forum Singapura tersebut, biasanya hadir pejabat Barat setingkat menteri, sementara kali ini Washington hanya mengirim atase pertahanan dari kedutaan di Beijing.
Level delegasi itu lebih rendah dibandingkan 2024 ketika pemerintahan Trump mengirim wakil asisten menteri pertahanan.
Baca Juga:
Kasus Spionase, Mata-Mata China Dituduh Susupi Parlemen Inggris
Raymond Kuo, pakar politik senior dari RAND Corporation, menilai jelas ada pola yang terbaca dari siapa yang hadir di masing-masing forum.
“AS lebih suka Dialog Shangri-La, China lebih suka Forum Xiangshan,” tegasnya.
Kehadiran perwakilan AS yang menurun signifikan terjadi setelah pada Juni 2025 lalu, Menteri Pertahanan China Dong Jun juga absen dari Dialog Shangri-La.
Itu menjadi kali pertama sejak 2019 pejabat pertahanan tertinggi Beijing tidak hadir di forum tersebut.
Kuo mengatakan kepada DW bahwa China tengah melakukan “forum shopping.”
Ia menyebut Beijing mencoba membangun sistem paralel yang mengajak negara-negara lain untuk terlibat di dalamnya.
Manuver ini menunjukkan betapa pentingnya kedua negara menakar posisi forum-forum tersebut di tengah rivalitas dua ekonomi terbesar dunia.
Menurut Xinhua, Forum Xiangshan 2025 dihadiri sekitar 1.800 perwakilan dari 100 negara.
Mereka terdiri dari pejabat, militer, hingga akademisi.
Agenda resmi membahas tata kelola keamanan global, kerja sama keamanan Asia-Pasifik, tatanan internasional pascaperang, serta pembangunan perdamaian regional.
Narasi itu sejalan dengan strategi Beijing memperluas pengaruh melalui berbagai ajang internasional yang digelar di wilayahnya.
China juga baru saja menjadi tuan rumah KTT Shanghai Cooperation Organization (SCO) serta parade militer awal September 2025.
Xi Jinping bertemu dengan Vladimir Putin, Narendra Modi, dan Kim Jong Un dalam rangkaian agenda tersebut.
Elizabeth Freund Larus dari Pacific Council menyebut Xi akan menekankan solidaritas dengan Rusia, Korea Utara, dan mungkin Iran.
Menurutnya, pesan itu jelas ditujukan untuk menunjukkan ada poros kekuatan yang sanggup menandingi dominasi global AS.
Sasaran utama narasi Beijing adalah negara-negara Selatan.
Vietnam, Malaysia, Brasil, dan Nigeria bahkan mengirim pejabat pertahanan dengan jabatan lebih tinggi.
Sinyal itu positif bagi upaya China meraih dukungan Global South.
Kuo menilai Xi Jinping ingin menunjukkan citra sebagai mediator tepercaya bagi negara-negara Selatan.
Relasi China–India pun coba dijadikan contoh, meski keduanya masih berselisih soal perbatasan.
Pertemuan Modi dengan Xi di KTT SCO awal September 2025 dinilai memberi keuntungan politik bagi Beijing.
“Pada titik tertentu, China sudah mengatakan: ‘Ya, kita mungkin punya perbedaan, bahkan konflik wilayah, tetapi kita tetap bisa menangani dan menyelesaikan isu keamanan regional lebih baik daripada Amerika Serikat’,” ujar Kuo.
Meski menggaungkan multilateralisme, para pengamat menilai Beijing sebenarnya masih lebih menyukai pendekatan bilateral.
China mungkin akan meluncurkan inisiatif dari KTT SCO, tetapi perjanjian konkret tetap diperkirakan minim.
Forum Xiangshan juga mencerminkan gaya diplomasi militer yang dijalankan Washington dan Beijing ke depan.
Larus menegaskan bahwa pilihan delegasi AS justru menandakan diskusi serius lebih sering dilakukan melalui jalur belakang.
Menjelang forum, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth berbicara lewat telepon dengan Dong Jun.
Keduanya menegaskan pentingnya komunikasi militer tetap terbuka sembari mengulang kepentingan strategis masing-masing.
Dalam percakapan itu, Dong memperingatkan bahwa “upaya penahanan atau pencegahan terhadap China tidak akan berhasil.”
Ia juga menolak keterlibatan AS di Taiwan serta Laut China Selatan.
Hegseth menegaskan AS tidak mencari konflik dengan Beijing.
Namun ia tetap menekankan bahwa negaranya memiliki kepentingan strategis di Asia-Pasifik.
Hal itu ditegaskan pula oleh Ying-Yu Lin, profesor dari Universitas Tamkang Taiwan.
Menurutnya, bila ada dialog bilateral dengan Beijing, Washington tidak harus melakukannya di tanah China.
Pada September 2025 ini, kapal induk terbaru China, Fujian, melintas di Selat Taiwan menuju Laut China Selatan.
Beijing menyebutnya sebagai bagian dari latihan penelitian dan pelatihan.
Pada saat bersamaan, AS dan Jepang menggelar latihan militer bersama.
Latihan itu mencakup pengerahan sistem rudal jarak menengah Typhon di Jepang.
Beijing dan Moskow kemudian mengecam latihan tersebut karena dianggap memperuncing ketegangan kawasan.
Para pengamat memperkirakan Beijing akan terus menggunakan forum semacam Xiangshan untuk mempromosikan narasi perdamaian.
Narasi itu merentang dari perang Ukraina hingga ketegangan di Laut China Selatan dan Taiwan.
“Ini garis narasi yang sama yang terus digunakan pejabat China,” kata Larus.
“Jangan berharap ada terobosan di sini.”
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]