WahanaNews.co | Hamas, kelompok militan Palestina
yang menguasai Jalur Gaza, bersedia menandatangani perjanjian gencatan senjata
dengan kontingen militer Israel melalui dua syarat, menurut seorang pejabat senior Hamas.
"Kami
memberi tahu semua pihak bahwa kami akan menerima gencatan senjata bersama Israel
dengan dua syarat," kata Dr Basem Naim, mantan Menteri Kesehatan Palestina, yang
sekarang menjadi Kepala Dewan Hubungan Internasional Hamas, kepada ABC News, diwartakan pada Rabu (19/5/2021).
Baca Juga:
Pelanggaran Hukum Internasional, PBB: 70 Persen Korban di Gaza Adalah Perempuan dan Anak-anak
"Pertama,
pasukan Israel harus menghentikan serangan ke kompleks Masjid Al-Aqsa dan
menghormati situs tersebut," imbuhnya.
"Kedua,
Israel harus menghentikan evakuasi paksa warga Palestina di lingkungan Sheikh
Jarrah. Kondisi ini sesuai dengan hukum internasional, bukan hanya syarat yang
diharapkan oleh otoritas Hamas," tandasnya.
Namun,
menurut seorang pejabat Israel yang mengetahui langsung masalah tersebut, bagaimanapun
pihaknya tidak tertarik dengan syarat apa pun.
Baca Juga:
Komandan Hamas Tewas dalam Serangan Israel di Lebanon Utara
"Kami
menyatakan berhenti sebelum waktunya adalah memberi Hamas kemenangan yang
diinginkannya," kata pejabat Israel itu kepada ABC News pada Selasa (18/5/2021) malam.
"Hamas
harus kalah sebagai hasil akhir dari (pertempuran) ini," tegasnya.
Kebuntuan
tampak terjadi saat babak pertarungan antara kedua belah pihak memasuki hari
ke-10 berturut-turut.
Hamas,
yang memperoleh mayoritas dalam pemilihan legislatif Palestina 2006, mengambil kendali Jalur Gaza pada
2007 setelah memerangi saingannya dari pasukan Palestina.
Sebelumnya,
kelompok militan ini mengaku, serangan roketnya ke Israel merupakan tanggapan atas
bentrokan baru-baru ini, antara pengunjuk rasa Palestina dan polisi Israel di
Kota Tua Yerusalem, di luar kompleks Masjid Al-Aqsa.
Situs
itu merupakan salah satu tempat paling suci dalam Islam.
Sementara
bentrokan pecah di tengah meningkatnya kemarahan atas potensi penggusuran
puluhan warga Palestina.
Ratusan
ribu warga Palestina melarikan diri atau terusir dari rumah mereka sejak perang
yang pembentukan Israel pada 1948.
Beberapa
pengungsi Palestina kembali membangun kehidupannya di lingkungan Sheikh Jarrah
di Yerusalem timur, tepat di luar Kota Tua.
Wilayah
itu berada di bawah pemerintah Yordania pada 1950-an.
Namun, pada
1967, Israel merebut kota itu dari Yordania, bersama dengan Jalur Gaza dan Tepi
Barat.
Sekarang,
beberapa keluarga Palestina menghadapi kemungkinan penggusuran dari rumah-rumah
di tanah yang diklaim pemukim Yahudi hilang dari mereka selama perang 1948.
Hukum
Israel mengizinkan warga untuk mengambil kembali tanah tersebut, tetapi tidak
mengizinkan warga Palestina untuk melakukan hal yang sama.
Dorongan Amerika Serikat
Presiden
Amerika Serikat (AS), Joe Biden, telah berbicara melalui telepon dengan Perdana Menteri
Israel, Benjamin Netanyahu, dan Presiden Palestina, Mahmoud Abbas.
Biden
berbicara dengan Perdana Menteri Israel pada Rabu (19/5/2021) untuk keempat kalinya
dalam seminggu.
Dia
"mengharapkan penurunan tensi yang signifikan hari ini (Rabu 19/5/2021),
untuk menuju gencatan senjata," menurut pembacaan percakapannya dari
Gedung Putih.
Dorongan
itu adalah yang paling tegas dari pihak AS, bahkan ketika Biden berulang kali
mendukung hak Israel untuk membela diri.
Selama
panggilan lain dengan Netanyahu pada Senin (17/5/2021), Biden "menegaskan
kembali dukungan tegasnya bagi hak Israel, untuk mempertahankan diri dari
serangan roket tanpa pandang bulu."
Tetapi
AS juga "menyatakan dukungannya untuk gencatan senjata," menurut
keterangan Gedung Putih.
Namun,
sumber mengatakan kepada ABC News
bahwa Presiden AS mengambil nada yang lebih keras dengan pemimpin
lama Israel daripada yang dia lakukan di depan umum, atau dalam percakapan
pribadi sebelumnya.
Biden
menyampaikan pesan bahwa dia hanya memberikan perlindungan begitu lama dari
seruan yang berkembang di AS dan di seluruh dunia, dengan maksud supaya Israel
mengambil pendekatan yang berbeda di Jalur Gaza.
Tetapi
Netanyahu mengatakan bahwa serangan akan terus berlanjut.
"Arahannya
adalah untuk terus menyerang sasaran terorisme," kata Netanyahu, dalam
konferensi pers pada Senin (17/5/2021) malam.
"Kami
akan terus bertindak seperlunya untuk memulihkan perdamaian dan keamanan bagi
semua penduduk Israel," tambahnya.
Israel
dan Amerika Serikat, sebagai sekutu dekat, sama-sama menganggap Hamas sebagai
organisasi teroris.
Kelompok
militan tersebut dinilai bertujuan untuk mendirikan negara Palestina merdeka
sebagai bagian dari Israel modern.
Warga
Palestina ingin memasukkan Jalur Gaza dan Tepi Barat di negara masa depan
mereka, dengan Yerusalem timur sebagai ibu kota akhirnya.
Pemerintah
AS telah menyuarakan dukungan bagi solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina, yang akan
menciptakan Israel dan Palestina yang merdeka.
Namun,
mantan Presiden AS, Donald Trump, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 2017, dan
memindahkan kedutaan AS di sana dari Tel Aviv pada 2018.
Langkah
kontroversial itu disambut baik oleh Israel dan dikutuk oleh Palestina. [qnt]