Sebelum hasil pemilu diumumkan, lanjut Algooth, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengatakan secara terbuka bahwa dialognya dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, telah terhenti setelah klaim pembunuhan massal ditemukan di Ukraina.
“Artinya Macron memiliki sikap yang lebih jelas dan tegas. Meski demikian, patut dicatat di antara pemimpin Eropa, Macron adalah pemimpin yang tetap membuka kemungkinan dialog dengan Moskow,” kata dia.
Baca Juga:
Gabriel Attal Jadi PM Termuda Prancis di Usia 34 Tahun
Pada sisi lain, Prancis tetap mengirimkan sejumlah artileri berat ke Ukraina bersamaan semakin banyak negara Barat yang mengirimkan persenjataan berat ke Kiev untuk membantu dalam melawan pasukan Moskow.
“Sikap Prancis yang tetap membuka pintu dialog namun memberikan bantuan militer kepada Ukraina tidak lepas dari sejarah Prancis yang unik dalam pakta pertahanan NATO. Mereka ini keras kepala dan tak mau kalah dengan Amerika Serikat,” ujar dia.
Ia mengatakan, tidak seperti negara lain yang ngebet bergabung dengan NATO, Prancis merupakan negara di Eropa yang paling memegang peranan penting dalam memobilisasi keamanan internasional baik melalui NATO dan PBB, dan merupakan satu di antara lima negara pemegang Hak Veto di PBB.
Baca Juga:
Timnas Prancis Kisruh, Benzema Unfollow Pemain Les Bleus
Peran Prancis dalam NATO tak terbantahkan karena merupakan satu dari sejumlah negara pendiri yang meneken perjanjian pakta NATO pada 4 April 1949 yang dibentuk karena adanya kekhawatiran negara-negara Eropa Barat dan Amerika akan ancaman keamanan dari dominasi Uni Soviet di wilayah Eropa yang dikhawatirkan dapat mengancam integritas dan stabilitas Benua Biru.
Namun saat dipimpin Presiden Charles de Gaulle justru pernah memutuskan keluar dari komando NATO pada Maret 1966.
Saat itu, de Gaulle bahkan memerintahkan pakta pertahanan itu menutup markas mereka di Prancis.