WAHANANEWS.CO. Jakarta - India secara diam-diam melampaui Pakistan dalam jumlah hulu ledak nuklir untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua dekade, menandai pergeseran besar dalam keseimbangan strategis Asia Selatan.
Saat ketegangan membara antara dua negara bersenjata nuklir itu, dunia menyaksikan dengan cemas potensi konfrontasi militer di kawasan ini, terutama setelah serangan teror brutal di Kashmir yang menewaskan 26 wisatawan tak bersalah.
Baca Juga:
Dorong Optimalisasi Ekspor Produk UMKM ke India, Mendag Resmikan Kantor Baru ITPC Chennai
Di Lembah Baisaran yang mempesona, tragedi menghancurkan ketenangan Kashmir yang sudah rapuh.
Militan yang diyakini mendapat dukungan dari Pakistan melancarkan penyergapan brutal terhadap rombongan wisatawan, menodai padang rumput Pahalgam dengan darah, dan memicu serangkaian reaksi keras yang mengancam meluas hingga ke tingkat geopolitik internasional.
Pemerintah India merespons dengan tindakan tanpa kompromi: rumah-rumah yang diduga milik militan dihancurkan, pasukan keamanan menggelar penggerebekan terhadap lokasi-lokasi persembunyian, dan ratusan warga sipil ditangkap untuk diinterogasi intensif, menurut pejabat pada Sabtu.
Baca Juga:
Api Perang Mengintai di Kashmir: Pakistan Ancam India dengan Sungai Darah
Kementerian Informasi dan Penyiaran India segera mengeluarkan perintah kepada seluruh media untuk menghentikan siaran langsung operasi militer guna menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Namun, insiden memilukan ini hanyalah puncak dari krisis yang jauh lebih besar.
Ketika New Delhi secara terbuka menuding Islamabad mendukung jaringan teroris, hubungan diplomatik kedua negara memburuk drastis.
Diplomat Pakistan diusir dari India, perbatasan ditutup rapat, dan perjanjian berbagi air dihentikan, memperdalam jurang perpecahan di antara mereka.
Asia Selatan pun kembali berada di ujung tanduk, mendekati potensi konflik besar, kali ini dengan bayang-bayang perang nuklir yang mengerikan.
Saat ketegangan meningkat, realitas lain yang tidak kalah menakutkan muncul ke permukaan: keseimbangan kekuatan nuklir antara India dan Pakistan mengalami perubahan signifikan.
Menurut laporan terbaru Status of World Nuclear Forces dari Federation of American Scientists (FAS), India kini menguasai sekitar 180 hulu ledak nuklir, melampaui estimasi Pakistan yang berada di angka 170.
Kolonel (Purn) Vikram Malhotra, analis pertahanan India, menilai perubahan ini sebagai "momen transformatif" dalam sejarah Asia Selatan.
"India kini tidak hanya mengejar kuantitas, tetapi juga kualitas dalam kapabilitas nuklir. Ini sinyal kuat bahwa India siap menjadi kekuatan penentu di kawasan Indo-Pasifik," ujarnya dalam wawancara dengan Times Now.
Perkembangan ini sebenarnya telah diprediksi dalam laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pada 2024, yang mencatat bahwa India mulai mendahului Pakistan dalam jumlah hulu ledak.
Sejak uji coba nuklir pertamanya pada 1974, India berkembang menjadi kekuatan nuklir keenam dunia, sementara Pakistan baru menyusul pada 1998, mendorong kawasan ini ke dalam dinamika perlombaan nuklir yang rapuh.
Selama dua dekade terakhir, Pakistan mempertahankan keunggulan angka dengan mengembangkan senjata nuklir taktis sebagai penyeimbang terhadap kekuatan konvensional India.
Namun, upaya modernisasi intensif yang dilakukan India, termasuk pengembangan rudal balistik Agni-5 yang dilengkapi teknologi Multiple Independently Targetable Reentry Vehicles (MIRV), telah mengubah keseimbangan tersebut.
"Modernisasi nuklir India, terutama dalam teknologi MIRV, meningkatkan kerentanan Pakistan secara eksponensial," kata Dr. Farzana Shaikh, analis pertahanan Pakistan yang berbasis di Chatham House, London.
Menurutnya, kemajuan ini memaksa Islamabad untuk mempertimbangkan "opsi pengembangan senjata balasan yang lebih agresif."
Saat ini, baik India maupun Pakistan berlomba memperkuat teknologi MIRV mereka, membuka babak baru perlombaan senjata nuklir yang lebih kompleks dan berisiko tinggi.
Di sisi lain, jurang pengeluaran pertahanan semakin melebar. Anggaran pertahanan India untuk tahun 2025–26 melonjak menjadi sekitar USD79 miliar, meningkat hampir 10% dari tahun sebelumnya.
Pakistan, dengan anggaran hanya sekitar USD8 miliar, berada dalam posisi jauh lebih lemah, terpaksa memprioritaskan sektor-sektor strategis dalam keterbatasan sumber daya.
Keunggulan finansial India diterjemahkan menjadi kekuatan nyata di lapangan: pembelian jet tempur Rafale dari Prancis, akuisisi sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia, dan modernisasi besar-besaran seluruh cabang angkatan bersenjata.
Sebaliknya, Pakistan berjuang mempertahankan angkatan tetap besar sambil menjaga program nuklirnya tetap kredibel.
"Pakistan kini menghadapi dilema klasik," kata Brigadir (Purn) Feroz Khan, pakar nuklir Pakistan.
"Bagaimana mempertahankan deterrence minimum yang kredibel menghadapi musuh yang unggul dalam kekuatan konvensional dan kini juga memimpin dalam kapabilitas nuklir strategis?"
Namun, ancaman utama bukan hanya ketidakseimbangan kekuatan, melainkan meningkatnya risiko eskalasi tak terkendali.
Pembantaian di Pahalgam memicu gelombang kemarahan di India yang dapat mendorong keputusan gegabah.
Walaupun India secara resmi masih berpegang pada kebijakan "No First Use" terkait senjata nuklir, beberapa pejabat senior telah mengisyaratkan bahwa serangan teroris besar bisa memicu perubahan kebijakan tersebut.
"Kebijakan 'No First Use' India lebih rapuh daripada yang diasumsikan banyak pihak," kata Prof. Vipin Narang, spesialis strategi nuklir dari MIT.
Ia menambahkan, "dalam kondisi provokasi besar, terutama serangan teror besar-besaran, tekanan domestik untuk membalas bisa sangat kuat."
Ambisi India untuk mencapai tiga serangkai nuklir operasional yang meliputi kemampuan serangan dari darat, laut, dan udara, semakin memperluas opsi militernya.
Rudal jarak jauh Agni-V dan Agni-VI kini dikembangkan tidak hanya untuk menargetkan Pakistan, tetapi juga kota-kota besar di China, menunjukkan bahwa cakrawala strategis India kini melampaui Asia Selatan.
Meskipun aktif dalam berbagai inisiatif non-proliferasi seperti Missile Technology Control Regime (MTCR) dan mendorong keanggotaan dalam Nuclear Suppliers Group (NSG), India tetap berada di luar perjanjian internasional penting seperti Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dan Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT). Kebijakan nuklir India tetap independen, fleksibel, dan disesuaikan dengan kebutuhan geopolitiknya.
Saat dunia bergulat dengan perang di Timur Tengah antara Israel dan Gaza serta konflik di Ukraina, kemunculan titik api baru di Asia Selatan memperbesar kekhawatiran komunitas internasional.
Sistem internasional yang melemah, perhatian kekuatan-kekuatan besar yang terpecah, serta sumber daya diplomatik yang terbatas membuat risiko salah perhitungan dan eskalasi di antara negara-negara bersenjata nuklir seperti India dan Pakistan menjadi jauh lebih besar.
Dalam situasi global yang rapuh ini, kesabaran strategis, diplomasi rahasia, dan mekanisme manajemen krisis bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mutlak untuk mencegah bencana yang tak terbayangkan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]