WahanaNews.co | Krisis politik di Myanmar belum kunjung usai.
Myanmar yang awalnya dipimpin oligarki
militer dan beralih menjadi sistem demokrasi, oleh militer kembali direbut
kekuasaan yang memicu demonstrasi berujung kekerasan militer.
Baca Juga:
Bertahan di Rakhine, Etnis Rohingya Seolah Hidup Tanpa Harapan
Wakil Direktur Multilateral Economic,
Financial, and International Institution CMEA, Dr Muhammad Hadianto, mengatakan, politik luar negeri Indonesia saat ini menekankan
diplomasi bilateral.
Ada lima faktor penting yang menentukannya.
Antara lain, aktor
yang terlibat, kepentingan nasional, dampak domestik, lingkungan strategis, dan gagasan.
Baca Juga:
Aung San Suu Kyi Divonis 6 Tahun Penjara
Ia menuturkan, ada dua elemen
transformasi politik luar negeri Indonesia, yaitu unsur keberlanjutan dan unsur
perubahan.
"Sebagai negara yang menganut
prinsip politik bebas aktif, Indonesia memiliki kebebasan menentukan sikap
dalam kebijakan internasional dan aktif mewujudkan perdamaian dunia," katanya, dalam webinar yang digelar Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia, Kamis (5/8/2021).
Mantan Duta Besar RI untuk Myanmar, Dr
Ito Sumardi, menuturkan, transisi demokratisasi di Myanmar bermula ketika
junta militer menyetujui adanya pemilu demokratis pada 2015.
Hal itu dilakukan karena mereka
optimistis akan menang.
Namun, Partai Liga Nasional untuk
Demokrasi (NLD) milik Aun San Suu Kyi menang telak.
Pada 2020, NLD kembali memenangkan
pemilu di Myanmar.
Militer menuding NLD lakukan
kecurangan, memunculkan kudeta, dan kerusuhan.
Internasional menyatakan
ketidaksetujuan atas kekerasan terhadap warga sipil, tapi diabaikan.
Ito mengaku aktif mendorong Pemerintah
Indonesia mendesak Pemerintah Myanmar mempertahankan demokrasi lewat dialog
persuasif.
"Begitu pula isu kemanusiaan di
Rohingya yang harus segera diselesaikan," ujar Ito.
Dosen Universitas Bina Nusantara, Dr
Dinna Prapto Raharja, menilai, Myanmar merupakan negara
yang sangat tertutup dan penuh kelompok bersenjata.
Sehingga, melakukan perdamaian di
negara itu bisa menjadi rumit dan mahal.
Setelah kudeta Myanmar 1 Februari
2021, situasi tampak semakin memburuk.
Dinna melihat, kebijakan luar negeri
Indonesia belum tepat dalam mengambil jalan, Myanmar masih transisi dan belum
siap jadi negara demokrasi seutuhnya.
Meski begitu, ASEAN memperlakukan
Myanmar selayaknya negara-negara lain yang memiliki sistem demokrasi lebih
mapan.
Hasil negosiasi diplomatik berubah
jadi hasil yang buruk.
Maka itu, apa yang ingin dicapai
Indonesia perlu diubah.
"Perlu lebih dipahami, Myanmar itu harus datang dari solidaritas dan kepedulian dari
masyarakat sipil. Situasinya masih sangat rapuh, saya merekomendasikan perlunya
melakukan reformasi terhadap ASEAN," katanya. [qnt]