Meskipun sifat tidak langsung dari perundingan tersebut mengindikasikan bahwa ketidakpercayaan masih ada, dimulainya kembali interaksi merupakan hal yang signifikan. Perundingan pada 19 April mendatang dapat menentukan apakah kedua belah pihak mampu mengubah diplomasi simbolis menjadi negosiasi substantif.
Pemerintah AS saat ini sedang berfokus pada upaya untuk menenangkan kawasan Timur Tengah, terutama dengan menyingkirkan Houthi, memutus dukungan Iran kepada mereka, dan memulihkan keamanan jalur perdagangan di Laut Merah, kata Kheir Diabat, seorang profesor di Departemen Urusan Internasional Universitas Qatar.
Baca Juga:
Trump Ultimatum Iran: Setiap Serangan Houthi Akan Dibalas Keras!
Steven Wright, associate professor hubungan internasional di Universitas Hamad Bin Khalifa Qatar, meyakini bahwa perundingan dengan Iran mencerminkan gaya negosiasi dari pemerintahan AS saat ini, yaitu menerapkan tekanan maksimum, menetapkan tenggat waktu yang tegas, dan mempertahankan ancaman yang kredibel untuk mundur (dari kesepakatan).
Dia memperingatkan bahwa pendekatan transaksional seperti itu tidak cocok untuk diplomasi internasional yang kompleks, terutama dalam hubungan yang sudah retak sejak tahun 1979.
Pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani dari Iran oleh AS pada 2020 semakin memperdalam keretakan tersebut, dan konflik yang sedang berlangsung di Gaza hanya meningkatkan ketidakpercayaan Iran terhadap niat AS, kata Wright.
Baca Juga:
Resmi, Trump Setop Bantuan Militer ke Ukraina
"Isu dasarnya adalah kepercayaan, atau lebih tepatnya, tidak adanya kepercayaan sama sekali," ujarnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.