WAHANANEWS.CO, Jakarta - Iran dan Amerika Serikat (AS) akan menggelar putaran kedua perundingan pada 19 April, setelah sebelumnya melangsungkan putaran pertama yang dinilai konstruktif oleh kedua pihak di Muscat, ibu kota Oman, pada Sabtu (12/4/2025).
Pertemuan tersebut, yang berlangsung selama 2,5 jam, menandai mencairnya situasi yang jarang terjadi dalam hubungan yang telah lama membeku dan penuh dengan sanksi, sikap keras di bidang militer, dan persaingan regional.
Baca Juga:
Trump Umumkan Tarif Baru untuk Ratusan Negara, Berlaku Mulai April 2025
Perundingan yang diadakan antara Menteri Luar Negeri Iran Seyed Abbas Araghchi dan Utusan Khusus AS untuk Timur Tengah Steve Witkoff berfokus pada isu nuklir dan pencabutan sanksi Iran, demikian disampaikan Kementerian Luar Negeri Iran dalam sebuah pernyataan.
Dalam pidatonya di hadapan wartawan setelah pertemuan tersebut, Araghchi mengatakan bahwa pertemuan itu bersifat konstruktif dan berlangsung dalam suasana yang tenang dan penuh respek.
"Tidak ada kata-kata tidak pantas yang diucapkan dan kedua belah pihak menunjukkan komitmen mereka untuk memajukan perundingan tersebut hingga tercapainya kesepakatan yang saling menguntungkan dari posisi yang setara," ujarnya.
Baca Juga:
Trump Ultimatum Iran: Setiap Serangan Houthi Akan Dibalas Keras!
Dia mengungkapkan bahwa putaran kedua negosiasi dijadwalkan digelar pada Sabtu (19/4/2025), dengan lokasi penyelenggaraan yang kemungkinan bukan di Muscat. Kedua belah pihak juga telah sepakat untuk mencoba menyusun kerangka kerja umum untuk sebuah kesepakatan pada sesi itu.
"Kami akan mencoba memasuki agenda negosiasi, yang tentu saja akan disertai jadwal," kata Araghchi, mengungkapkan harapan bahwa perundingan yang akan datang dapat menyelesaikan dasar untuk memulai perundingan yang sebenarnya.
Dalam pernyataannya, Gedung Putih juga menyebutkan bahwa pertemuan tersebut bersifat positif dan konstruktif serta merupakan sebuah langkah maju dalam mencapai hasil yang saling menguntungkan.
Meskipun sifat tidak langsung dari perundingan tersebut mengindikasikan bahwa ketidakpercayaan masih ada, dimulainya kembali interaksi merupakan hal yang signifikan. Perundingan pada 19 April mendatang dapat menentukan apakah kedua belah pihak mampu mengubah diplomasi simbolis menjadi negosiasi substantif.
Pemerintah AS saat ini sedang berfokus pada upaya untuk menenangkan kawasan Timur Tengah, terutama dengan menyingkirkan Houthi, memutus dukungan Iran kepada mereka, dan memulihkan keamanan jalur perdagangan di Laut Merah, kata Kheir Diabat, seorang profesor di Departemen Urusan Internasional Universitas Qatar.
Steven Wright, associate professor hubungan internasional di Universitas Hamad Bin Khalifa Qatar, meyakini bahwa perundingan dengan Iran mencerminkan gaya negosiasi dari pemerintahan AS saat ini, yaitu menerapkan tekanan maksimum, menetapkan tenggat waktu yang tegas, dan mempertahankan ancaman yang kredibel untuk mundur (dari kesepakatan).
Dia memperingatkan bahwa pendekatan transaksional seperti itu tidak cocok untuk diplomasi internasional yang kompleks, terutama dalam hubungan yang sudah retak sejak tahun 1979.
Pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani dari Iran oleh AS pada 2020 semakin memperdalam keretakan tersebut, dan konflik yang sedang berlangsung di Gaza hanya meningkatkan ketidakpercayaan Iran terhadap niat AS, kata Wright.
"Isu dasarnya adalah kepercayaan, atau lebih tepatnya, tidak adanya kepercayaan sama sekali," ujarnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]