WahanaNews.co | Kerusuhan yang terjadi di Kazakhstan belum lama ini menelan korban jiwa. Di kota Almaty, jenazah yang penuh dengan peluru bergeletakan di jalanan Kazakhstan.
Menurut jurnalis anonim, kota itu berkali-kali dipenuhi dengan tembakan. Selain itu, internet yang mati membuat mesin ATM rusak dan setidaknya ada satu toko senjata yang dijarah, dikutip dari CNN.
Baca Juga:
Setiap Hari 10.000 Warga Rusia Kabur ke Georgia Gara-gara Putin
Selain itu, jurnalis ini mengatakan pemerintah Kazakhstan berhasil menguasai wilayah Almaty yang berada dekat kediaman presiden dan kantor gubernur. Tiga pos pemeriksaan militer juga telah dibangun.
Menurut jurnalis tersebut, jika ada orang yang pergi mendekati pos pemeriksaan, pasukan militer akan menembakkan peluru ke udara. Meski demikian, tak jelas peluru yang ditembakkan merupakan peluru tajam atau peluru karet.
Pada Jumat (7/1), Presiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev mengklaim kerusuhan yang terjadi di negaranya dilatarbelakangi oleh 'bandit teroris' dari luar dan dalam negeri.
Baca Juga:
Wamendag Bidik Kazakhstan untuk Kembangkan Potensi Perdagangan
Tokayev dalam pidatonya terlihat berusaha menampilkan narasi dalang kerusuhan adalah terorisme. 'Teroris' ini, kata Tokayev, 'terlatih melakukan sabotase ideologi, menggunakan informasi salah secara terampil, dan mampu memanipulasi hati masyarakat.'
Beberapa demonstran membantah tuduhan Tokayev ini.
"Kami bukan preman atau teroris. Satu-satunya yang berkembang di sini adalah korupsi," kata salah satu perempuan.
Salah satu pria juga mengatakan bahwa demonstran ingin mengetahui kebenaran.
"Pemerintah kaya, tetapi semua orang di sini memiliki pinjaman yang harus dibayar. Kami merasa sedih, dan kami ingin membagikan rasa itu," tuturnya.
Demonstrasi ini merupakan tantangan terbesar pemerintah Kazakhstan, yang diperintah oleh autokrat.
Awalnya, demonstrasi ini dimulai atas kemarahan publik karena kenaikan harga bahan bakar. Namun, beberapa pakar menilai kemarahan ini menjalar hingga ke perilaku korup pemerintah, standar kehidupan, kemiskinan, dan pengangguran di negara itu.
"Ini adalah pemerintahan yang benar-benar lepas atas kenyataan yang terjadi di lapangan. Ini adalah negara tanpa institusi untuk memberikan protes, satu-satunya cara adalah dengan turun ke jalan," kata pengamat Paul Stronski dari Carnegie Endowment for International Peace.
Sementara itu, Amnesty International menilai protes ini merupakan konsekuensi atas penekanan hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah.
"Selama bertahun-tahun, pemerintah tanpa henti menganiaya perbedaan pendapat yang muncul secara damai, membuat orang-orang Kazakhstan merasa gelisah dan putus asa," kata Direktur Amnesty International untuk Eropa Timur dan Asia Tengah, Marie Struthers, dalam sebuah pernyataan.
Akibat protes ini, beberapa orang terbunuh dan ratusan orang terluka. Internet di wilayah itu juga mati. Bahkan, Tokayev sempat meminta bantuan aliansi militer yang diketuai Rusia untuk mengatasi demo ini. [qnt]