Hingga akhirnya, politikus dari Donetsk, Viktor Fedorovych Yanukovych, terpilih menjadi presiden pada 2010. Namun, muncul gelombang protes besar-besaran untuk menuntut Yanukovych mundur pada 2014.
Sumbu masalahnya, Yanukovych menolak kesepakatan hubungan antara Ukraina dan Uni Eropa. Demonstrasi langsung pecah di berbagai sudut Ukraina, menewaskan nyaris 130 orang.
Baca Juga:
Gempuran Rudal Rusia di Pasar Ukraina Tewaskan 16 Orang
Di tengah ketegangan itu, Yanukovych dan pemimpin oposisi di parlemen sepakat untuk melakukan pemilu lebih awal, tapi massa sudah kian ganas hingga menduduki gedung-gedung pemerintahan.
Yanukovych akhirnya kabur ke Rusia, sehari sebelum pemungutan suara pemakzulan. Parlemen Ukraina lantas sepakat untuk melengserkan Yanukovych.
Sepeninggal Yanukovych, Donetsk dan Luhansk bergolak. Para aktivis pro-Rusia mendesak pembentukan pemerintahan otonom di kedua wilayah itu.
Baca Juga:
Putin Nyatakan Pasukannya Berhasil Duduki 4 Wilayah di Ukraina
Mereka juga meminta untuk bergabung dengan Rusia.
Referendum pemisahan diri pun akhirnya digelar di Luhansk dan Donetsk pada 11 Mei 2014, meniru yang dilakukan di Crimea tak lama sebelumnya.
Sebagaimana dilansir Associated Press, penyelenggara referendum mengklaim bahwa 96,2 persen warga Luhansk memilih untuk merdeka. Sementara itu, 89 persen warga Donetsk juga ingin melepaskan diri dari Ukraina.