WahanaNews.co | Donetsk dan Luhansk kembali jadi sorotan setelah Rusia mengakui kemerdekaan wilayah di timur Ukraina yang dikuasai separatis itu, Senin (21/2).
Kedua kawasan itu lagi-lagi tersedot ke dalam pusaran konflik.
Baca Juga:
Gempuran Rudal Rusia di Pasar Ukraina Tewaskan 16 Orang
"Saya meyakini perlu untuk mengambil keputusan yang lama tertunda, untuk segera mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk," ujar Presiden Rusia, Vladimir Putin, seperti dikutip AFP.
Separatis memang sudah mendirikan pemerintahan secara sepihak dengan nama Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk saat konflik di Ukraina pecah pada 2014. Namun, pemerintahan itu tak pernah diakui dunia.
Sebagian warga di Luhansk dan Donetsk memang sejak lama ingin memisahkan diri dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia.
Baca Juga:
Putin Nyatakan Pasukannya Berhasil Duduki 4 Wilayah di Ukraina
Negeri Beruang Merah juga menganggap Ukraina sebenarnya bagian dari wilayahnya secara historis.
Bara masalah di Luhansk dan Donetsk sendiri mulai menyala sejak lama, tepatnya setelah Uni Soviet pecah dan Ukraina terbentuk pada 1991 silam.
Karena berbagai perbedaan pandangan, warga Donetsk dan Luhansk selalu memilih presiden yang berbeda dari penduduk di kawasan lain di Ukraina.
Hingga akhirnya, politikus dari Donetsk, Viktor Fedorovych Yanukovych, terpilih menjadi presiden pada 2010. Namun, muncul gelombang protes besar-besaran untuk menuntut Yanukovych mundur pada 2014.
Sumbu masalahnya, Yanukovych menolak kesepakatan hubungan antara Ukraina dan Uni Eropa. Demonstrasi langsung pecah di berbagai sudut Ukraina, menewaskan nyaris 130 orang.
Di tengah ketegangan itu, Yanukovych dan pemimpin oposisi di parlemen sepakat untuk melakukan pemilu lebih awal, tapi massa sudah kian ganas hingga menduduki gedung-gedung pemerintahan.
Yanukovych akhirnya kabur ke Rusia, sehari sebelum pemungutan suara pemakzulan. Parlemen Ukraina lantas sepakat untuk melengserkan Yanukovych.
Sepeninggal Yanukovych, Donetsk dan Luhansk bergolak. Para aktivis pro-Rusia mendesak pembentukan pemerintahan otonom di kedua wilayah itu.
Mereka juga meminta untuk bergabung dengan Rusia.
Referendum pemisahan diri pun akhirnya digelar di Luhansk dan Donetsk pada 11 Mei 2014, meniru yang dilakukan di Crimea tak lama sebelumnya.
Sebagaimana dilansir Associated Press, penyelenggara referendum mengklaim bahwa 96,2 persen warga Luhansk memilih untuk merdeka. Sementara itu, 89 persen warga Donetsk juga ingin melepaskan diri dari Ukraina.
Kendati demikian, hasil referendum ini tak pernah diakui oleh dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa menganggap hasil referendum ini tak punya legitimasi demokrasi.
Tak peduli dengan dunia, kelompok separatis tetap memproklamirkan kemerdekaan Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR) sehari setelah referendum.
Meski sudah mendeklarasikan kemerdekaan sepihak, kehidupan di Donetsk dan Luhansk masih tegang.
Baku tembak masih terjadi di sana-sini.
Pemimpin DPR dan LPR akhirnya sepakat untuk mengadakan perundingan dengan pemerintah Ukraina yang ditengahi Jerman, Prancis, dan Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE).
Sebagaimana dilansir Reuters, mereka akhirnya meneken Kesepakatan Minsk pada 12 Februari 2015.
Kesepakatan itu berisi persetujuan kedua belah pihak untuk gencatan senjata.
Ukraina, DPR, dan LPR juga sepakat untuk memberikan status otonom sementara di Luhansk dan Donetsk.
Aturan lanjutan mengenai status ini akan dibahas kemudian melalui amandemen undang-undang Ukraina.
Sebagai timbal balik, DPR dan LPR sepakat untuk mengembalikan Luhansk dan Donetsk ke bawah kekuasaan resmi pemerintah Ukraina.
Namun hingga kini, beberapa poin kesepakatan itu tak kunjung rampung dan terwujud.
Bara dalam sekam konflik Luhansk dan Donetsk pun terus menyala, hingga akhirnya Rusia mengakui kemerdekaan DPR dan LPR. [bay]