WahanaNews.co | Presiden
Amerika Serikat (AS) Donald Trump kini seperti menghitung hari untuk lengser
dari Gedung Putih setelah kalah dari rivalnya, Joe Biden, dalam pemilihan
presiden (pilpres) 2020.
ass="MsoNormal">Banyak orang Amerika mencap nasib politisi Partai Republik ini
seperti lame
duck (bebek lumpuh).
Baca Juga:
Benarkah AS Tak Lagi Adidaya? Ini 3 Penyebab Runtuhnya Amerika Versi Warganya Sendiri
Namun, label
"bebek lumpuh" itu ditepis media-media Amerika dengan analisa mereka. Meski segera lengser, Trump
masih memiliki 75 hari dengan kekuasaan tanpa batas.
Kesempatan itu bisa
saja dia manfaatkan untuk membalas dendam atau memberi penghargaan kepada para
pendukungnya di hari-hari terakhirnya di kantor.
Alih-alih menjadi
"bebek lumpuh", presiden yang kalah pilpres ini masih leluasa untuk
melakukan tindakan yang berbahaya bagi musuh-musuh AS.
Baca Juga:
Teror Drone Kamikaze Guncang Pangkalan Irak, Siapa Dalangnya?
Menurut analisa axios.com,
setelah kalah pilpres, tidak ada kendala pada kekuasaan presiden biasa antara
pemilu dan pelantikan.
Dia akan memiliki
kekuatan yang hampir tak terbatas untuk memberi penghargaan kepada
teman-temannya, menyelesaikan skor dengan sekutunya selama hari-hari
terakhirnya di kantor.
The Washington Post menulis; "Amerika Serikat
kini ini dalam bahaya yang belum pernah terjadi sebelumnya dari seorang
eksekutif yang marah dan tidak tertekan yang akan menjabat hingga 20 Januari,
hari pelantikan Joe Biden."
"Trump dapat
melakukan kerusakan yang tak terhitung dengan tindakan di hari terakhir, mulai
dari memecat pejabat senior yang cakap di komunitas intelijen dan keamanan
nasional hingga memberikan pengampunan kepada rekan-rekan kriminalnya,"
lanjut The
Washington Post, yang dikutip Senin (9/11/2020).
Selain memberikan
grasi, yang Trump tunjukkan pada Februari lalu, dia dapat mempercepat
legislasi, dan mengubah pekerjaan politiknya menjadi posisi permanen di
pemerintahan baru.
Mantan Presiden
Barack Obama mengisi banyak jabatan federal dengan orang-orang yang akan terus
bertugas setelah dia meninggalkan jabatannya.
Saat Trump bersusah
payah atas kekalahannya dan meluncurkan gugatan hukum atas kemenangan Joe
Biden, Trump dapat memilih untuk menjalankan pendirian terakhirnya sebagai
panglima tertinggi Amerika.
Ini bisa menjadi
bencana bagi keamanan global, jika melibatkan penarikan pasukan dan diplomat Amerika
di wilayah sensitif.
Pada bulan Oktober,
Trump men-tweet bahwa dia akan
membawa 4.500 tentara di Afghanistan pulang untuk merayakan Natal.
Menteri Luar Negeri
Mike Pompeo mengancam akan menutup kedutaan AS di Irak setelah pemboman roket
berulang kali, yang menurutnya, oleh Iran.
Penarikan pejabat
militer senior secara diam-diam, yang telah memberikan pengaruh yang
menstabilkan di banyak negara Afrika, sedang berlangsung.
Menurut The
Washington Post, penarikan pasukan AS dari Afghanistan bisa
menyebabkan kemungkinan kembalinya Taliban dan perang saudara di negara itu.
Trump kemungkinan
berusaha untuk membagikan bantuan, seperti yang dilakukan presiden pendahulunya
ketika keluar dari Gedung Putih dan selama periode transisi yang tidak menentu.
Secara
internasional, dia mungkin menyerah pada pendekatan dari sekutunya; Perdana
Menteri Israel Benjamin Netanyahu, atas pencaplokan wilayah permukiman Tepi
Barat Palestina.
The Washington Post menyatakan teman Trump lainnya,
Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman dapat mencari bantuan, yang selama
ini ditentang Kongres AS.
China juga dapat
memanfaatkan masa transisi dan bergerak di wilayah yang disengketakan, yakni
Taiwan.
Sejauh bantuan
mengalir, Trump telah menunjukkan selera untuk menyelamatkan orang dari catatan
kriminal atau membebaskan mereka dari penjara dan dia bukan presiden pertama
yang melakukannya.
Barack Obama, saat
menjabat, memecahkan rekor dalam mengeluarkan grasi. Pada bulan Februari, Trump
melanjutkan pemberian grasi untuk 11 orang.
Penerima grasi yang
beruntung termasuk raja obligasi sampah; Michael Milken, dan mantan pemilik San
Francisco 49ers yang juga terpidana penipu perjudian; Edward DeBartolo Jr.
Setelah Trump
memenangkan pemilu pada November 2016, Obama memberikan 78 pengurangan hukuman
penjara pada satu hari di bulan berikutnya.
Pada 17 Januari
2017, tiga hari sebelum pelantikan Trump, Obama mengampuni 64 orang dan
meringankan hukuman 209 orang, termasuk 109 lifers, termasuk mantan tentara dan
whistleblower WikiLeaks; Chelsea Manning.
Pada hari
terakhirnya di kantor, 19 Januari 2017, Obama meringankan hukuman penjara 330
narapidana federal, sebagian besar pelaku kejahatan narkoba yang memiliki
hukuman yang terlalu berat.
"Presiden yang akan
meninggalkan kantor biasanya tidak merasa sepenuhnya tidak terkendali; pada
kenyataannya, sekarang ada pengekangan yang lebih cepat dan mendesak: 'Apa yang
akan dipikirkan sejarah tentang saya?'," kata pensiunan pakar transisi
presidensial, John Burke, kepada axios.com.
"Mungkin tergoda
baginya untuk memecat orang-orang yang dianggapnya tidak loyal, misalnya,
tetapi itu tidak akan berguna baginya dalam jangka panjang. Kepicikan adalah
latihan yang mahal." [dhn]