WahanaNews.co | Perebutan kekuasaan oleh militer Myanmar dilakukan beberapa jam sebelum parlemen Myanmar bersidang pada 1 Februari 2021, militer menyerbu gedung legislatif dan mendeklarasikan pengambilalihan kekuasaan dari pemerintahan sipil.
Saat itu, tepatnya Senin dini hari, militer juga menangkap pejabat mulai dari petinggi parlemen, presiden, hingga pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Baca Juga:
Lokasi Sempat Terdeteksi, 11 Warga Sukabumi Disekap di Wilayah Konflik Myanmar
Militer Myanmar berdalih kudeta dilakukan menanggapi kecurangan hasil pemilu 2020 yang lagi-lagi di menangkan partai Suu Kyi.
Sejak kudeta terjadi, Myanmar dilanda kekerasan hingga peperangan antara kubu militer dan pemberontak sipil di berbagai daerah. Kekacauan ini pun terjadi di tengah pandemi Covid-19 yang juga meluas di negara itu.
Kini, setahun setelah kudeta berlangsung, negara Asia Tenggara itu masih berjuang keluar dari lingkaran kekerasan, di mana hampir 1.500 warga sipil dikabarkan tewas akibat bentrokan antara militer dan masyarakat penentang rezim junta.
Baca Juga:
Imbas Serangan Udara Junta Militer, 11 Warga Myanmar Tewas
Peperangan antara kelompok milisi penentang kudeta dan pasukan junta militer di daerah-daerah juga tampak belum surut.
Selain milisi, junta militer juga dihadapkan oleh pasukan pemerintah sipil bayangan, Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), yang juga bermunculan di seluruh negeri untuk melawan kudeta.
Setidaknya hampir 3.000 tentara junta diklaim tewas dalam pertempuran dengan PDF antara Juni dan November. Sementara itu, junta militer mengaku sebanyak 168 tentara dan polisi tewas antara Februari dan akhir Oktober 2021.
Pertempuran pun memicu ribuan orang mengungsi ke negara tetangga seperti Thailand hingga India.
"(Setahun setelah kudeta) kami masih hidup di era kegelapan. Kami harus berpikir bagaimana caranya bertahan setiap harinya hidup di bawah kediktatoran militer ini daripada fokus dengan tujuan hidup dan impian kami di masa depan," kata seorang warga Myanmar, Htoo Aung, bukan nama asli, seperti dikutip AFP.
Dunia internasional hingga ASEAN semakin menekan junta militer Myanmar untuk segera memulihkan situasi dan demokrasi di negara itu.
Namun, sejumlah ahli menganggap junta militer tidak akan menyerah dengan tekanan yang ada.
"Tantangan-tantangan yang ada saat ini sangat tidak mungkin memaksa militer untuk menyerah atau kehilangan cengkramannya terhadap kekuasaan negara," kata penasihat senior International Crisis Gorup Myanmar, Richard Horsey.
Awal Januari, junta militer bahkan melancarkan serangan udara ke sejumlah wilayah di timur negara untuk memberangus pemberontak anti-kudeta yang hendak menduduki sebuah kota.
Sementara itu, di kota-kota besar seperti Yangon, pusat perekonomian Myanmar, junta militer berupaya memulihkan situasi kembali normal.
Hilir mudik kendaraan hingga kemacetan lalu lintas mulai terlihat kembali di perkotaan.
Pusat perbelanjaan juga perlahan terisi kembali.
Pihak berwenang baru-baru ini juga mengumumkan sanksi bagi mereka yang membunyikan klakson mobil atau memukul panci hingga wajan sebagai bentuk protes terhadap junta menjelang peringatan setahun kudeta.
Sebab, tak lama setelah kudeta berlangsung tahun lalu, warga yang menentang kompak turun ke jalan dan berdemo sambil membunyikan klakson kendaraan hingga memukul panci dan wajan. [bay]