WahanaNews.co | Kantor PBB untuk Urusan Narkoba dan Kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime/UNODC) pada Kamis (26/1) melaporkan pertanian opium di Myanmar merajalela di masa rezim junta militer sejak 2021.
Krisis ekonomi parah dan gonjang-ganjing politik hingga konflik di Myanmar mendorong para petani menanam opium.
Baca Juga:
Lokasi Sempat Terdeteksi, 11 Warga Sukabumi Disekap di Wilayah Konflik Myanmar
Ekonomi Myanmar lumpuh menyusul kudeta militer yang dipimpin Min Aung Hlaing di negara tersebut pada Februari 2021. Kudeta tersebut pun berujung pemberontakan sipil hingga mengakibatkan perang saudara.
Melansir CNN Indonesia, lahan untuk tanam opium bertambah luas sepertiganya menjadi 40 ribu hektare pada 2021-2022, berdasarkan laporan dari UNODC.
Potensi dari pertanian bunga opium tersebut juga melonjak hampir 90 persen menjadi 790 ton dibandingkan tahun sebelum kudeta oleh militer Myanmar.
Baca Juga:
Imbas Serangan Udara Junta Militer, 11 Warga Myanmar Tewas
UNDC juga mencatat terjadi "ekspansi signifikan" terhadap perekonomian terkait panen opium.
"Kekacauan ekonomi, keamanan, dan pemerintahan setelah militer melakukan kudeta pada Februari 2021 membuat para petani tak punya banyak pilihan selain kembali ke opium," tutur perwakilan regional UNODC Jeremy Douglas, seperti dikutip dari AFP.
"Pertumbuhan bisnis opium yang kita saksikan secara langsung berkaitan dengan krisis yang dihadapi negara tersebut," kata Douglas.
UNODC memperkirakan bisnis opium di Myanmar secara total bisa menghasilkan US$2 miliar atau setara Rp29,9 triliun. Angka itu bisa lebih dari tiga persen produk domestik kotor (GDP) Myanmar pada 2021.
Namun, harga pasaran resin opium mengalami kenaikan menjadi sekitar US$280 per kilogram meski ladang opium semakin meluas di Myanmar. Kenaikan tersebut tembus hingga 69 persen dibandingkan tahun lalu.
Harga pasaran opium di Myanmar bahkan lebih tinggi dibandingkan di Afghanistan. Harga opium per kilogram di negara penghasil opium terbesar di dunia itu sekitar US$203 per kilogram.
Ironisnya, kenaikan harga opium tersebut tak berdampak positif bagi para petani karena bahan bakar minyak dan pupuk juga naik drastis.
Harga bahan bakar minyak dan pupuk meroket karena pandemi dan konflik sipil di Myanmar.
Tercatat 40 persen populasi di Myanmar hidup miskin pada 2022. Masalah ekonomi tersebut yang 'memaksa' para pekerja meninggalkan perkotaan dan beralih menjadi petani opium di desa-desa. [rna]