WahanaNews.co, Jakarta - Panas ekstrem melanda Asia Selatan dan Tenggara selama beberapa pekan terakhir, menyebabkan puluhan kematian dan jutaan siswa bolos sekolah.
Kondisi ini begitu parah hingga memaksa sekolah-sekolah di Filipina dan Bangladesh tutup. Setidaknya 30 orang di Thailand juga dilaporkan meninggal dunia akibat heatstroke.
Baca Juga:
Barantin Sulawesi Utara Musnahkan 144 Ekor Ayam Tanpa Dokumen Karantina Resmi
KC Libre, seorang siswa 15 tahun yang mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Manuel Roxas di Manila, menyebut cuaca ekstrem ini menyebabkan dirinya terpaksa belajar di rumah.
"Ini pertama kalinya kelas kami tak sekolah karena cuaca panas," kata Libre, seperti dikutip The Guardian.
"Kelas saya memiliki 47 siswa. Ruangannya sangat panas meski sudah dipasangi kipas angin listrik. Biasanya hanya ada dua kipas angin listrik yang dinyalakan karena kipas langit-langit di beberapa ruangan rusak," lanjut dia.
Baca Juga:
Batak di Filipina, Satu dari 7 Suku yang Terancam Punah
Menurut Libre, cuaca di Filipina saat ini begitu panas hingga ia kesulitan fokus saat belajar. Suhu panas itu bahkan terasa di rumahnya, yang tak memiliki penyejuk ruangan.
"Suhu panas ini juga terasa sampai di rumah. Saya tidak punya pendingin ruangan karena tidak kaya. Jadi saya mengerjakan tugas sekolah pada malam hari karena suhunya tidak sepanas siang hari. Saat pagi hari, suhunya sangat panas seolah-olah itu bertiup ke Anda," ujar dia.
"Udara yang berasal dari kipas listrik sangat panas. Panasnya seperti di dalam oven," imbuh Libre.
Kondisi serupa juga dirasakan Sae Klomkamnerd (63), seorang petani di Provinsi Phichit, Thailand, yang terpaksa menjual 5.200 bebeknya karena berhenti bertelur imbas panas ekstrem.
Klomkamnerd bercerita bahwa ia harus mengambil air tanah pada siang hari demi mengisi dan mendinginkan kolam bebek. Namun, usahanya itu sia-sia karena air kolam tetap terasa panas.
"Airnya masih terlalu panas. Setelah sembilan atau 10 jam, airnya jadi panas dan bebek-bebek tak mau masuk lagi. Mereka pergi ke tempat teduh dan bersembunyi di bawah pohon," ucapnya.
Klomkamnerd berujar biasanya 80-90 persen itik muda bakal bertelur di waktu-waktu ini. Namun, karena cuaca begitu panas, produksi telur para itik turun jadi 60-50 persen.
"Jika bebeknya lebih tua, jumlah telurnya bahkan turun hingga 30 persen," kata Klomkamnerd.
Menurut Klomkamnerd, telur-telur yang berhasil diproduksi para itik pun lebih kecil dibandingkan ukuran biasanya. Karenanya, hasil penjualan telur jadi lebih murah.
"Saya cuma bisa mendapatkan 75 baht untuk satu nampan telur. Pada tahun yang baik, kami bisa menjual seharga 100-105 baht per nampan. Tahun ini benar-benar mengerikan," tutur Klomkamnerd.
Lay Samrach (44), seorang pekerja konstruksi di Phnom Penh, Kamboja, juga mengaku tak tahan dengan panas ekstrem belakangan ini. Ia sampai izin beristirahat beberapa kali di sore hari agar tetap prima saat bekerja.
"Saya harus meninggalkan semua peralatan saya di tempat teduh. Jika tidak, suhu panas akan merusak bahan-bahan bangunan," ucap dia.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]