WahanaNews.co | Pemimpin umat Katholik Paus Fransiskus menduga ekspansi NATO ke timur Eropa telah memprovokasi Presiden Rusia Vladimir Putin melancarkan serangan besar ke Ukraina.
Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan pada Selasa (3/5/2022) oleh harian Italia Corriere Della Sera, Paus menyinggung “gonggongan NATO di pintu Rusia” dapat mendorong Putin meluncurkan kampanye militer pada 24 Februari.
Baca Juga:
Ribuan Tentara Rusia Siap Perang di Timur dan Selatan Ukraina
"Saya tidak bisa mengatakan apakah itu diprovokasi, tapi mungkin ya," kata Paus Fransiskus dikutip Russia Today melansir wawancara media Italia itu.
Paus Francis juga mengatakan dia meminta pertemuan Putin selama minggu-minggu awal konflik, tetapi masih belum menerima jawaban.
Dia mengatakan dia telah meminta diplomat tinggi Vatikan untuk menghubungi Presiden Rusia guna mengatur pertemuan sekitar tiga minggu setelah operasi militer dilancarkan ke Ukraina.
Baca Juga:
Banyak Picu Kerugian, NATO Putus Asa dengan Kemampuan Pasukan Ukraina
"Kami belum menerima tanggapan dan kami masih berusaha keras,” katanya kepada surat kabar itu.
"Saya khawatir Putin tidak bisa, dan tidak ingin, mengadakan pertemuan ini saat ini. Tapi bagaimana Anda tidak bisa menghentikan begitu banyak kebrutalan?" tambahnya.
Paus mengatakan dia sebelumnya telah berbicara dengan pemimpin gereja Kristen Ortodoks Rusia, Patriark Kirill dari Moskow, selama 40 menit melalui Zoom.
Patriark, yang telah membuat komentar yang membenarkan serangan Rusia di Ukraina, tidak bisa menjadi putra altar Putin.
Francis juga mengatakan kepada surat kabar itu bahwa Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban telah meyakinkannya, Putin memiliki rencana mengakhiri perang pada 9 Mei, hari ketika Rusia merayakan Hari Kemenangan 1945 atas Nazi Jerman.
Paus sebelumnya telah dikritik karena tidak secara langsung mengecam Rusia pada hari-hari awal serangan.
Pada Maret, dia menyerukan “cara yang berbeda untuk mengatur dunia” dan mendesak peradaban untuk mengatasi kebutuhan refleksif untuk “lebih banyak senjata, lebih banyak sanksi, lebih banyak aliansi politik-militer.”
Rusia menyerang tetangganya pada akhir Februari, menyusul kegagalan Kiev untuk menerapkan ketentuan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass di Donetsk dan Lugansk.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim bahwa pihaknya berencana untuk merebut kembali kedua republik secara paksa.
Ukraina Kritik Kanselir Jerman Olaf Scholz
Perkembangan lain, Duta Besar Ukraina untuk Jerman, Andrey Melnyk, menggambarkan Kanselir Olaf Scholz, "tersinggung" atas penolakannya berkunjung ke Kiev.
Elite Ukraina sebelumnya melontarkan ejekan ke Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier pada pertengahan April karena dianggap terlalu dekat ke Rusia.
“Memainkan gaya tersinggung seperti itu tidak terdengar seperti negarawan,” kecam Melnyk ke kantor berita Jerman, DPA.
“Kita sedang berbicara tentang perang pemusnahan paling brutal sejak serangan Nazi di Ukraina, bukan prasekolahm,” imbuhnya.
Pejabat Ukraina mencatat, bagaimanapun pernyataannya tidak berarti Kanselir Scholz tidak diterima di Kiev.
Lebih dari sekadar “kunjungan simbolis”, kata Melnyk, Ukraina akan menghargai Jerman yang menerapkan mosi Bundestag tentang pengiriman senjata berat dan memenuhi janji-janji sebelumnya.
Diplomat itu juga mengkritik Berlin karena gagal menyediakan amunisi untuk senjata anti-pesawat self-propelled Gepard, yang dijanjikan Jerman untuk dikirim ke Ukraina pada akhir April.
Pengiriman itu akan mewakili angkatan pertama persenjataan berat yang diberikan ke Kiev oleh Berlin sejak Rusia melancarkan serangannya pada 24 Februari.
Komentar Melnyk muncul tak lama setelah Kanselir Scholz mengatakan ke saluran TV Jerman ZDF, penolakan Ukraina untuk menerima Presiden Steinmeier pada 13 April menghalangi potensi kunjungan Scholz sendiri ke Kiev.
Scholz menggambarkan penghinaan itu sebagai “luar biasa”. Steinmeier terpilih kembali sebagai presiden pada Februari dan menikmati dukungan sebagian besar anggota parlemen Jerman.
Steinmeier seharusnya berkunjung ke Kiev bersama dengan para pemimpin Polandia dan negara-negara Baltik pada 13 April.
Namun, pihak berwenang Ukraina memberi isyarat kepadanya sehari sebelumnya ia “tidak diinginkan” di Kiev karena ia telah membina hubungan baik dengan Moskow.
Kanselir Jerman mengatakan tidak mungkin Jerman memberikan "begitu banyak bantuan militer, begitu banyak bantuan keuangan" ke Ukraina dan kemudian diberitahu presiden tidak dapat berkunjung ke Kiev.
Saat menjabat sebagai menteri luar negeri pemerintahan Angela Merkel, Steinmeier mengembangkan rencana aksi untuk memastikan pelaksanaan perjanjian Minsk, yang kemudian dikenal sebagai 'Formula Steinmeier'. [qnt]