WahanaNews.co, Washington DC - Amerika Serikat menunjukkan gejala mengurangi dukungan kepada Ukraina dalam menghadapi agresi Rusia.
Kemungkinan, AS tidak akan mengirimkan bantuan senjata secara besar-besaran lagi setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui rencana pendanaan sementara pemerintah selama 45 hari ke depan pada Minggu (1/10/2023).
Baca Juga:
Jet Tempur F-18 AS Jatuh ke Laut Merah dari Kapal Induk Truman
Dalam rencana ini, tidak ada keterangan tentang alokasi anggaran untuk bantuan Ukraina. Ketua DPR dari Partai Republik, Kevin McCarthy, dikabarkan akan mengajukan RUU bantuan terpisah untuk Ukraina dalam pemungutan suara pekan depan.
Namun, hingga saat ini, belum jelas besarnya bantuan yang akan diberikan oleh AS kepada Ukraina, termasuk apakah akan sesuai dengan permintaan Presiden Joe Biden sebesar US$24 miliar.
Perjuangan Ukraina melawan Rusia dan upaya mereka untuk mengalahkan invasi Rusia menjadi perdebatan politik di dalam AS. Bantuan yang diberikan oleh AS kepada negara yang diserbu oleh Rusia juga menjadi perhatian yang serius.
Baca Juga:
Tarif Impor AS Ancam Ekonomi Thailand, Potensi Kerugian Capai Rp392 Triliun
Sejumlah pihak, terutama anggota DPR dari Partai Republik, terus mempertanyakan jumlah bantuan yang akan diberikan oleh AS kepada Ukraina.
Selain itu, ada upaya penggulingan McCarthy dari anggota DPR, Matt Goetz. Goetz salah satu sosok yang menentang bantuan lebih lanjut untuk Ukraina.
Jika bertahan hingga pekan depan, McCarthy akan berusaha bantuan itu terus mengalir untuk Ukraina. Salah satunya dengan mempertahankan pendanaan untuk menghentikan imigran melintasi perbatasan Meksiko.
Pendanaan tersebut merupakan tuntutan utama Partai Republik.
"Saya akan memastikan senjata-senjata itu disediakan untuk Ukraina, tetapi bantuan besar tidak akan disetujui jika perbatasan Ukraina tidak aman," ujar McCarthy dalam wawancara dengan CBS News.
Namun, jika McCarthy tetap menjadi Ketua DPR dan berhasil meloloskan RUU bantuan untuk Ukraina, masalah lain akan muncul. Beberapa anggota DPR meragukan kebutuhan untuk pengeluaran besar AS di luar negeri, terutama saat inflasi sedang tinggi.
Selain itu, masyarakat AS juga mulai merasa lelah dengan konflik antara Ukraina dan Rusia yang sudah berlangsung lebih dari 1,5 tahun.
Pemerintah Washington dan Kiev khawatir bahwa warga yang terkena dampak inflasi mungkin memiliki pandangan yang serupa terkait anggaran pengeluaran.
Masalah lain yang membuat situasi semakin rumit adalah penyelidikan pemakzulan terhadap Biden terkait kesepakatan bisnis anaknya, Hunter, di Ukraina.
Pemerintah Biden mengatakan bahwa jika Rusia tidak berhenti di Ukraina, seluruh dunia akan berada dalam bahaya.
Selain itu, pemerintah Ukraina juga akan sangat prihatin jika Donald Trump, yang dianggap memiliki hubungan dekat dengan Rusia, berhasil memenangkan pemilihan presiden tahun depan.
Dalam situasi yang penuh kekhawatiran tersebut, Biden berusaha memberikan jaminan kepada Ukraina bahwa AS akan tetap menjadi sekutu mereka.
"Saya ingin meyakinkan sekutu kami di Amerika, rakyat Amerika, dan rakyat Ukraina bahwa Anda dapat mengandalkan dukungan kami. Kami tidak akan meninggalkan Anda begitu saja," ujar Biden, seperti yang dilaporkan oleh AFP.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]