WahanaNews.co | Amerika Serikat mengalami inflasi yang memicu melesatnya harga gas hingga pangan.
Ribuan warga pun harus mengantre makanan di bank pangan setiap hari.
Baca Juga:
Inovasi Crowdsourcing Maritim di Tengah Konflik Natuna
Namun, kondisi ekonomi AS yang loyo tak menyurutkan militer negara itu menantang China di Laut China Selatan.
Sebuah kapal perang AS dikerahkan mendekat ke Kepulauan Spratly, yang disebut Kepulauan Nansha di China pada Sabtu (16/7). Kepulauan tersebut terletak di tenggara Laut China Selatan (LCS).
Sebagaimana diberitakan CNN, Kapal perusak berpeluru kendali USS Benfold berlayar di dekat Kepulauan Spratly sebagai bagian dari "operasi kebebasan navigasi (FONOP)."
Baca Juga:
Peran Penting Indonesia dalam Menangani Konflik Laut China Selatan (LCS)
Armada ke-7 AS mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa tindakan tersebut merupakan tantangan akan klaim China atas kepulauan itu.
"[Operasi Angkatan Laut AS ini menantang] pembatasan lintas damai yang diterapkan Republik Rakyat China (RRC), Vietnam, dan Taiwan," demikian pernyataan Armada ke-7 AS.
Pernyataan itu lalu berujar, "Melanggar hukum internasional, RR, Vietnam, dan Taiwan tampaknya perlu entah mendapatkan izin, atau memberitahukan lebih dahulu, sebelum kapal militer masuk ke jalur lintas damai, melewati laut teritorial wilayah itu."
Laut teritorial sendiri merupakan perairan yang berjarak 19km dari garis pantai suatu negara, sebagaimana diakui hukum internasional.
Sementara itu, Filipina, Malaysia, dan Brunei turut mengklaim beberapa bagian dalam Kepulauan Spratly. Namun, pernyataan Angkatan Laut AS tak menyinggung klaim atas ketiga negara tersebut.
Ini bukanlah pertama kali AS menantang klaim China menggunakan dalih FONOP.
Pada Rabu (13/7), AS sempat melakukan misi yang sama di Kepulauan Paracel, kepulauan yang berada di wilayah utara LCS. Kepulauan ini dikenal dengan nama Kepulauan Xisha di China, dan turut diklaim oleh Vietnam dan Taiwan.
Beijing murka dengan tindakan AS tersebut kala itu.
"Aksi militer AS telah sangat melanggar kedaulatan dan keamanan China, sangat merusak perdamaian dan stabilitas Laut China Selatan, dan sangat serius melanggar hukum internasional, pun norma hubungan internasional," ujar juru bicara Komando Teater Selatan China, Kolonel Angkatan Udara, Tian Juli, dalam sebuah pernyataan.
Meski demikian, Washington menilai klaim maritim yang dilakukan China dan pihak lain "mengancam kebebasan lautan, termasuk kebebasan navigasi dan penerbangan luar, perdagangan bebas dan tanpa hambatan, pun kebebasan kesempatan ekonomi."
China sendiri mengklaim sejumlah wilayah LCS yang berbatasan dengan beberapa negara, termasuk Filipina dan Vietnam. untuk menjaga klaim ini, Presiden Xi Jinping terus membangun fasilitas militer, pulau buatan, dan menempatkan kapal perang di perairan itu. [qnt]